Ada Apa Dibalik Rekontekstualisasi Fiqih?




Oleh : Rindoe Arrayah

             Sungguh miris, manakala melihat sepak terjang berbagai pihak yang selalu berusaha tanpa kenal lelah untuk menghancurkan Islam. Belum lama ini, Kementerian Agama menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 dengan tema “Islam in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”, atau reaktualisasi fikih dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik (antaranews.com, 24/10/2021).

“Tema ini sesungguhnya dirumuskan untuk menjawab dinamika perubahan Islam dunia,” ujar Dirjen Pendis Kemenag M. Ali Ramdhani di Solo, Jateng. Beliau mengatakan bahwa AICIS ke-20 ini berlangsung di Kota Surakarta dengan tuan rumah UIN Raden Mas Said. Serta berharap forum diskusi antara peneliti, dosen, hingga pakar lintas keilmuan ini dapat memberikan kontribusi teoritik dan praktik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.

Wacana tentang rekontekstualisasi fikih yang merupakan gagasan Menag sejatinya bukan gagasan baru. Istilah ini semakna dengan gagasan reinterpretasi atau rekonstruksi fiqih yang sering kali diungkap oleh kalangan Islam liberal. Maksud dari rekontekstualisasi fiqih hakikatnya adalah melepas keterikatan umat dari syariat Islam kafah. Karena meski yang mereka tohok adalah ortodoksi syariat Islam di era klasik, hakikatnya mereka sedang mengebiri ajaran Islam menjadi sebatas nilai-nilai moral. Mereka beranggapan bahwa agama sejatinya merupakan kumpulan norma semata-mata, sementara norma merupakan respons terhadap fakta. Oleh karenanya, menurut mereka, umat harus fokus pada tujuan norma agama atau maqashid asy-syari’ah, bukan pada fiqihnya.

Tidak mengherankan jika pada akhirnya hukum diambil bagaikan hidangan prasmanan. Diambil hanya hukum yang mendukung kepentingan hawa nafsunya semata.  Sementara, hukum yang dinilai tidak mendukung kepentingan hawa nafsunya tidak akan diambil. Bahkan, pelan tapi pasti akan dihilangkan.   Inilah bahayanya aktivitas rekontekstualisasi fiqih yang dibangun berdasarkan metode mantik para pemikir dan filosof Barat yang mengagungkan akal yang dikendalikan oleh hawa nafsu.

Jika ditelisik lebih mendalam, dunia Barat menemukan jalan kemajuan justru setelah turut mereguk kehebatan peradaban Islam. Sementara peradaban emas Islam terjadi saat seluruh aturan Islam tegak dalam institusi Khilafah, termasuk di bidang pendidikan. Sekularisme yang menjadi asas kebangkitan Barat telah menghasilkan profil peradaban yang berbeda dengan peradaban yang berlandaskan Islam. 

Ada yang berpendapat, bila urusan manusia tidak boleh lagi berlandaskan syariat Islam dengan dalih tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Lantas, aturan siapa yang akan mereka pakai sehingga manusia bisa memperoleh kemaslahatan di dunia dan akhirat?

Gagasan rekontekstualisasi fiqih ini merupakan salah satu senjata kaum kafir dalam rangka mengoyak risalah Islam. Oleh karena itu, dibalik ini semua ada kepentingan bagi sistem yang eksis dan para penjaganya untuk menghalangi kembalinya kebangkitan Islam. Salah satu caranya, dengan mengeluarkan gagasan-gagasan yang menghalangi keinginan umat untuk hidup kembali dibawah naungan Islam.

Sudah saatnya untuk mencapakkan sistem Kapitalisme-Sekularisme, kemudian menggantinya dengan syari’at Islam yang pernah berjaya dalam kurun waktu 13 abad lamanya dalam mengantarkan umat menuju kehidupan yang rahmatan lil ‘alamiin.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak