Vaksinasi untuk Membangun Herd Immunity atau sebagai Syarat Administrasi?

Credit picture by Alomedika.com

Oleh: Jojo Fuaadah

(Pemerhati Kebijakan Publik)


Berdasarkan temuan WHO, persentase orang yang perlu kebal untuk mencapai herd immunity ini bervariasi untuk setiap penyakit. Misalnya, herd immunity terhadap campak membutuhkan sekitar 95 persen populasi untuk divaksinasi. Lima persen sisanya akan dilindungi oleh fakta bahwa campak tidak akan menyebar di antara mereka yang divaksinasi. Sementara, proporsi populasi yang harus divaksinasi terhadap Covid-19  tidak diketahui. Ini adalah bidang penelitian yang penting dan kemungkinan akan bervariasi menurut populasi yang diprioritaskan untuk vaksinasi.


Namun, Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR pada Juli 2021 menargetkan herd immunity di Indonesia bisa tercapai apabila 70 persen populasi sudah ikut vaksinasi Covid-19.


Setengah tahun terakhir ini, vaksinasi ramai diadakan di berbagai tempat. Mulai dari rumah sakit, puskesmas, TNI dan Polri semua menyelenggarakan vaksinasi masal dengan harapan bisa menembus target satu juta vaksin seperti yang dianjurkan Menkes. Namun, ada yang kurang diperhatikan dalam hal ini. Pertama, terjadi kerumunan yang tidak dapat dikendalikan oleh penyelenggara vaksin yang mengakibatkan melanggar prokes saat diadakannya vaksinasi, bukan menambah imun sehat, yang ada malah menimbulkan infeksi masal secara bersamaan. 


Kedua, tidak serta-merta penyelenggaraan vaksin ini dibuat untuk membangun herd immunity, namun merambah ke berbagai sektor yang “apa-apa” harus ada persyaratan telah divaksin. Hal itu sangat meresahkan kalangan yang tidak bisa vaksin seperti masyarakat yang memiliki komorbit, atau bahkan masyarakat yang memang dirinya tidak bersedia atau belum siap untuk divaksin. 


Selain itu, muncul kasus dimana masyarakat harus memiliki kartu vaksin atau keterangan “telah divaksin”, katakanlah seperti bertransportasi umum, mengurus administrasi berupa KTP, syarat masuk sekolah, dan sebagainya. Hal ini lagi-lagi meresahkan masyarakat, sehingga muncullah penjual sertifikat/kartu vaksin palsu supaya masyarakat medapatkan kartu tanpa perlu vaksin. Sungguh miris dan tidak ada habisnya permasalahan di kala pandemi ini.


Adapun tindakan untuk meminimalisir permasalahan seperti di atas adalah dengan cara fokus mengedukasi terlebih dahulu atau memahamkan masyarakat seberapa pentingnya vaksinasi dilakukan. Menjamin kehalalan dan kelayakan vaksin itu sendiri sebagai upaya sehingga masyarakat percaya tentang khasiat dan keamanan serta kehalalan dari vaksin itu sendiri. Bukan malah menjadikan syarat vaksinasi untuk berkegiatan, menjadikan ladang bisnis dalam vaksinasi adalah hal yang tidak patut dilakukan. 


Peran pemerintah juga seharusnya memerangi hoaks yang beredar tentang vaksinasi, tidak membuat-buat berita yang tidak benar adanya. Dalam islam menyebarkan informasi yang keliru dan teori konspirasi tidak diperbolehkan, sebagaimana dalam Alquran surat 17 ayat 36 yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, pengelihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."


Ayat tersebut menjelaskan agar manusia tidak mengejar sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya.

Islam mengajarkan, setiap jiwa manusia sangat berharga. Islam juga mengajarkan untuk berikhtiar dalam mencapai kesembuhan dari sakit yang diderita. Vaksinasi merupakan bentuk ikhtiar agar setiap orang terhindar dari risiko terinfeksi sebuah virus. 


Namun vaksinasi harus dipastikan terlebih dahulu bahwa zat yang digunakan tidak membahayakan dan tidak mengandung barang yang diharamkan syariat. Hal itu berlandaskan hadis Rasulullah: “Sesungguhnya Allah SWT  menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, tetapi janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang diharamkan.” (HR Abu Dawud no 3874).


Oleh karena itu, meski asal hukum vaksinasi diperbolehkan, status hukumnya bisa berubah berdasarkan alasan dan kondisinya. "Ia bisa menjadi wajib atau sunah, bisa juga menjadi haram atau makruh sesuai dengan alasan dan situasi kondisinya. Tidak bisa digeneralisasi secara otomatis," ungkap Ustaz Jeje, Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) kepada Republika. 


Bisa saja MUI memutuskan fatwa yang mewajibkan vaksin secara menyeluruh. Dengan catatan, apabila berdasarkan kajian telah sampai pada derajat meyakinkan (qath'iy), yakni bahwa vaksin yang digunakan adalah dengan bahan yang halal dan merupakan satu-satunya cara yang paling efektif untuk menghentikan penyebaran Covid-19.

Penyembuh segala penyakit hanyalah Allah SWT. Dalam hadits riwayat Bukhari dikatakan, Allah adalah yang Maha Menyembuhkan, dan tidak ada obat kecuali melalui Allah. Wallahu 'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak