Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.
Praktisi Pendidikan
Wacana penggunaan nama Attaturk di kawasan Menteng, Jakarta Pusat menuai penolakan dari sejumlah pihak. MUI menolak dengan tegas usulan tersebut, begitu pula PKS dan PPP (news.detik.com, 18/10/2021). Rencana usulan nama ini disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Ankara, Muhammad Iqbal. Ia mengatakan bahwa rencana penggantian nama jalan tersebut merupakan bagian dari kesepakatan kerja sama Indonesia dan Turki. Turki mengajukan nama Mustafa Kemal Attaturk—salah satu Founding Father Turki, untuk menjadi nama jalan di Indonesia sebagaimana nama Soekarno telah dijadikan nama salah satu jalan di Ankara.
Adanya kontroversi nama “Attaturk” bukanlah tanpa sebab. Kaum muslimin di Indonesia sangat mengenal Mustafa Kemal sebagai tokoh yang membenci Islam (baca: Islamfobia), perwira militer yang memimpin revolusi Turki, tokoh diktator yang mengubah Mesjid Hagia Sophia menjadi museum, mengganti azan berbahasa Arab menjadi bahasa lokal, melarang jilbab di sekolah, hingga yang paling buruk adalah menghancurkan kekhilafahan Ottoman (Turki Utsmani) dan menggantinya menjadi Republik Turki. Dengan kata lain, Mustafa Kemal memiliki ideologi sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Mengenai hal ini, telah ditekankan kembali oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa pemikiran Mustafa Kemal itu pemikiran sesat (cnnindonesia.com, 18/10/2021).
Penolakan terhadap nama “Attaturk” merupakan wujud kesadaran kaum muslimin di Indonesia akan buruknya tabiat dan pemikiran sesat yang diadopsi oleh presiden pertama Turki tersebut. Namun, alangkah lebih sempurna dan utama bila kita pun menolak pemikiran Attaturk yakni sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Bukan sekadar menolak namanya. Hal ini disebabkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme itu ide yang bertentangan dengan Islam. Kaum muslimin harus menolak ide tersebut dalam segala bentuknya.
Sekularisme adalah ide memisahkan agama dengan kehidupan. Pluralisme merupakan ide yang menganggap semua agama benar. Pluralisme kini dikampanyekan dengan bungkus toleransi kebablasan. Sementara liberalisme adalah ide kebebasan, mencakup kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan tingkah laku dan kebebasan berpendapat. Keempat kebebasan tersebut sangat bertentangan dengan Islam. Ide kebebasan berpendapat yang membuat penghinaan terhadap Islam terus berulang. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal kebebasan. Dalam Islam, semua ada aturannya.
Terkait hubungan baik Indonesia dan Turki tentu hal yang patut diapresiasi.Terlebih peran pemerintahan Turki terhadap Indonesia di masa lalu sungguh terekam dengan jelas dari jejak-jejaknya yang ditinggalkan di Nusantara. Jejak itu berupa jejak khilafah di Nusantara. Dari film dokumenter “Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN II)” kita mengetahui ternyata begitu erat hubungan Kekhilafahan Turki Utsmani dengan Nusantara. Para pahlawan di Indonesia seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Iskandar Muda, Sultan Thaha, dan banyak lagi yang lainnya berjuang dengan spirit jihad. Mereka berjuang mengusir penjajah dengan gagah berani dengan bantuan dan perlindungan dari Kekhilafahan Turki Utsmani.
Sebagai sebuah institusi global untuk kaum muslimin seluruh dunia, Kekhilafahan Turki Utsmani dengan suka rela membantu para pejuang di Nusantara untuk melawan penjajah. Namun, di detik-detik keruntuhannya, kekhilafahan sudah tidak mampu menolong. Akhirnya perlawanan di Nusantara mengalami kekalahan telak hingga para pejuang dibuang. Kisah pun berakhir tragis dengan wafatnya para pejuang di pengasingan.
Pembubaran Khilafah Islamiyah 3 Maret 1924 M
Telah tertulis dalam sejarah bahwa Mustafa Kemal Atarturk adalah dalang dihapusnya Kekhilafahan Turki Utsmani yang menjadi nadi kekuatan umat Islam. Dia telah mewujudkan harapan dan mimpi kaum kafir Barat, yakni menghancurkan Khilafah pada 3 Maret 1924.
Pada tanggal ini juga Mustafa Kemal Atarturk dengan resmi telah melakukan beberapa perubahan mendasar, di antaranya:
- Mengumumkan pemisahan agama dari pemerintahan negara
- Menutup mahkamah – mahkamah Syariah
- Menghapus jabatan Menteri Syariah dan Menteri Auqaf
- Mengusir Khalifah Abdul Majid II serta semua keluarganya ke Swiss.
Setelah khilafah Islam dibubarkan dan pasukan Inggris ditarik dari wilayah Turki. Menteri luar negeri Inggris, Curzon dipanggil Senat Inggris untuk mempertanggungjawabkan perihal penarikan pasukan Inggris dari wilayah Turki. Di hadapan anggota Senat Curzon berkata, ”Utama persoalannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit kembali, karena kita telah berhasil menghancurkan dua kekuatan spiritualnya, yaitu Khilafah dan Islam”.
Hilangnya Identitas Umat Islam
Itulah kisah pedih hancurnya perisai umat. Kejatuhannya sangat berdampak buruk bagi umat, di antaranya adalah hilangnya identitas umat Islam karena tidak memiliki sistem pemerintahan. Umat Islam menjadi lemah dan mudah dikotak-kotakkan serta ditindas, seperti di Palestina, Uighur, Rohingya, dan lain-lain. Selain itu, umat Islam tidak mampu mengamalkan ajaran Islam secara sempurna karena tidak ada pemimpin Islam.
Dari dampak hancurnya khilafah sebagai perisai umat yang dihancurkan melalui tangan Mustafa Kemal Attaturk, masih pantaskah ia dihormati dan namanya dijadikan nama jalan? Terlebih jalan di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia?
Wallahu’alam bishshawab
Tags
Opini