The Hero of Pajak




Oleh Aisyah Yusuf 

(Pendidik generasi dan Aktivis Subang)


Bak seorang tokoh hero dalam sebuah film, kemana-mana selalu diincar dan dikerumuni penggemar.

Begitupun pajak. Di negeri ini pajak bagaikan super hero, selalu diincar dan dibidik.

Namun yang membedakan, jika tokoh super hero diincar karena menyelamatkan orang-orang yang tertindas dan terzalimi, sedang super hero dalam pajak diincar karena menyelamatkan para penguasa rakus. Dengan alasan untuk menopang perekonomian negeri.


Setelah perencanaan sembako yang dikenakan pajak. Biaya pendidikan pun dibidik untuk dikenakan pajak. Di tengah pandemi yang masih berlangsung, banyak PHK dan usaha pun banyak yang gulung tikar. Pemerintah terus saja mengincar berbagai jenis objek untuk dikenakan tarif pajak.


Baru-baru ini Pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang (Kompas.com,  07/10/2021)

Selain itu, Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP).


Berdasarkan Draf UU HPP, setiap WP OP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) (Kompas.com, 10/10/2021)


Sungguh sangat ironis hidup di negeri kaya raya sumber alamnya. Terkenal dengan zamrud khatulistiwa, namun semua aspek dibebani pajak.


Dalam sistem kapitalis seperti saat ini, pajak merupakan sumber penghasilan atau pemasukan negara yang utama selain dari sumber daya alam.

Karena pengelolaan sumber daya alam dalam kapitalisme bergantung pada siapa yang memiliki modal. Sehingga kekayaan alam bisa diprivatisasi atau dimilliki oleh individu yang memiliki kekayaan yang banyak.


Padahal di dalam undang-undang dasar 1945 dijelaskan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3).


Dengan melihat isi undang-undang tersebut seharusnya negara mengelola kekayaan alam ini dengan sebaik-baiknya tanpa diberikan kepada pihak asing.


Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitupun sistem yang rusak akan melahirkan aturan-aturan yang rusak. Sebagaimana sistem demokrasi saat ini adalah sebuah sistem yang rusak yang melahirkan empat kebebasan. Salah satunya kebebasan kepemilikan.


Dengan demikian, siapapun yang memiliki modal, maka dia berhak untuk memiliki kekayaan alam negeri ini. Sehingga pemasukan pun yang seharusnya menjadi kas negara, menjadi keuntungan individu.

Akhirnya, negara pun mencari pemasukan lain, dan pajaklah yang menjadi incaran selama ini, sekecil apapun objek itu. Maka akan senantiasa menjadi incaran.


Berbeda dengan Islam yang merupakan agama sempurna dan paripurna.

Islam mengatur sistem perekonomian termasuk di dalamnya pos pemasukan dan pengeluaran, yang sehingga tanpa harus memungut pajak kepada rakyatnya.


Sistem perekonomian dalam Islam berlandaskan pada tiga aspek, yakni

1. Kepemilikan

2. Pengelolaan dan pemanfaatan kepemilikan

3. Distribusi kekayaan kepada masyarakat yang hidup dalam naungan daulah khilafah islamiyah. 


Dalam Islam kepemilikan terbagi menjadi tiga, kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Dalam hal ini, pemasukan negara bisa diperoleh dari kepemilikan umum yang dikelola negara dan hasilnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Yang termasuk dalam kepemilikan umum adalah tambang, air, api, gas, minyak bumi, hutan, dan lain-lain.


Untuk kepemilikan negara seperti jizyah, ghanimah, kharaj, dan lain-lain.


Setiap pemasukan masuk ke dalam kas negara untuk di distribusikan sesuai dengan pos-posnya.

Misalnya, pemasukan dari pajak maka dikeluarkan hanya untuk delapan asnaf saja penerima zakat. Hasil dari pemilikan umum digunakan untuk kepentingan rakyat. Misal, biaya pendidikan, kesehatan dan sebagainya.


Dengan demikian negara tidak akan memungut pajak kepada rakyatnya. Sebab pajak dalam Islam adalah sesuatu yang dilarang, kecuali dalam kondisi terdesak, yakni kas negara sedang benar-benar kosong, dan itupun hanya dipungut kepada mereka yang memilki kekayaan lebih, juga sistem pungutan pun bersifat sementara.


Sebenarnya jika sumber kekayaan negeri ini tidak diserahkan kepada asing dan dikelola oleh negeri ini. Maka sebenarnya cukup untuk membiayai negeri ini tanpa  harus mengincar semua objek untuk dipungut pajak.


Maka haruskah kita bertahan dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai prioritas?


Wallahu a'lam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak