Oleh: Tri Setiawati, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Perempuan dan Generasi)
Sungguh Miris ketika kita melihat fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Betapa tidak, pemerintah terus mencari cara agar tidak ada siapapun dan apapun yang lepas dari jeratan pajak. Terus menerus mencari objek pajak hingga ke lubang jarum. Mirisnya, tak begitu dengan pengelolaan sumber daya alam. Sepertinya pemerintah melenggang santai walau swasta asing terus merajai. Mengapa harta rakyat dikejar sementara SDA berlimpah diserahkan ke swasta begitu saja ? Dimana iba pemerintah melihat rakyatnya sengsara? Bagaimana seharusnya tata kelola SDA yang sebenarnya?
Rakyat bukanlah mitra penguasa, melainkan amanah yang harus dijaga. Jika penguasa mengambil prinsip ini, maka tidak ada nama nya pajak berlebihan. Pajak akan seperti pungutan liar yang ilegal. Pajak akan seperti pemalakan sistematis yang membuat rakyat meringis, terpaksa setuju karena tidak ada pilihan lain.
Namun realitanya, penguasa negeri ini mengambil prinsip lain, menjadikan pajak sebagai nyawanya perekonomian bangsa. Setiap warga negara wajib membayar pajak.
Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP).(kompas.com, 10 Oktober 2021).
Dengan ada nya UU tersebut, akankah menjadikan setiap orang yang sudah tentu memiliki KTP akan menjadi wajib pajak? Sebetulnya lazimkah kebijakan yang seolah memaksakan kehendak pajak bagi setiap warga negara ?
Persoalan fundamental nya adalah kegagalan kapitalisme dalam menjamin kebutuhan seluruh rakyat dalam sebuah negara. Lebih spesifik lagi, kegagalannya terletak pada kelemahan mendistribusikan sumber daya alam walaupun jumlahnya yang sangat banyak.
Coba diurut dari Sabang sampai Merauke, berapa banyak yang seharusnya dimiliki oleh negara namun tidak ada ditangan Indonesia sendiri. Siapa yang menyandera SDA yang melimpah itu hingga rakyat tak kebagian sepeserpun? Siapa lagi kalau bukan kapitalisme.
Kapitalisme adalah sebuah faham yang menonjolkan kebebasan kepemilikan terhadap semua harta tanpa ada batas. Mereka yang punya modal akan semakin kaya, sedangkan mereka yang tidak punya modal tidak bisa berbuat apa-apa. Sudahlah tak berdaya, tertimpa pajak lagi.
Maka ketika ingin lepas dari pajak, kapitalisme lah yang harus dicabut dan diganti dengan sistem yang lain.
Islam tidak melarang pajak secara mutlak. Pada masa Umar Bin Khattab pun pernah diberlakukan pajak ke beberapa orang yang kaya, saat kondisi negara sedang menghimpit.
Ketika kondisi kembali normal, maka pemberlakuan pajak pun dicabut.
Adapun pemasukan utama negara, didapatkan dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri kemudian dikembalikan untuk kebutuhan rakyat.
Sumber Daya Alam dalam bentuk bahan baku, jika sudah bisa dimanfaatkan, maka akan langsung diberikan kepada rakyat. Jika haruskah diolah dalam bentuk lain dulu, maka negara akan mengoperasionalkan proses industri untuk mengolah SDA yang ada dan mengembalikan kepada rakyat. Jika mengharuskan diserukan dengan mata uang, maka akan dibagikan cuma-cuma kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan. Bisa juga di serupakan dengan fasilitas publik seperti pendidikan atau kesehatan.
Begitulah mulianya sistem Islam dalam rangka menerapkan Islam yang dampaknya teraih kesejahteraan secara merata. Semua itu diwujudkan tanpa pungutan pajak sebagai sumber utama. Menjadikan pemasukan utama adalah SDA, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Tidak ada yang lebih faham aturan yang paling sempurna dibandingkan aturan dari Allah SWT. Sudah saatnyalah kita kembali menerapkan aturan Illahi yang sudah terbukti membawa kesejahteraan bagi umat.