Oleh : Andini
Melambungnya tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial twitter menuai respon dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Naiknya tagar tersebut merupakan buntut dari dihentikannya kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, mempertanyakan data dari munculnya tagar tersebut. Menurutnya, pelaporan dari masyarakat selalu ditindaklanjuti oleh kepolisian. (nasional.okezone.com, 08/10/2021)
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel menilai, walaupun ajakan itu dilatari kekecewaan mendalam yang itupun manusiawi, tetapi tagar tersebut tidak sepatunya diteruskan.
Ia juga mengatakan, Polri perlu diberi masukan agar penyusunan laporan kinerja lebih komprehensif. Tidak sebatas jumlah laporan, tetapi mencangkum jumlah kasus yang diproses sampai ke pengadilan. (m.medcom.id, 09/10/2021)
Munculnya tagar ini menjadi indikasi bahwa kepercayaan rakyat terhadap hukum kian hilang. Mayoritas publik cenderung percaya, bahwa proses hukum yang dilakukan aparat hukum di Indonesia mudah diintervensi oleh kepentingan tertentu, misalnya kedekatan dengan aparat atau kompensasi materi.
Bahkan hasil survei Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020 memperlihatkan angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64 persen. Tertinggi jika dibandingkan bidang lain, seperti ekonomi 57 persen, politik dan keamanan. (news.detik.com, 20/05/2021)
Di dalam sistem kapitalisme, lembaga hukum termasuk kepolisian yang mengayomi dan melindungi rakyat hanyalah headline semata. Pada prakteknya, ketidakadilan dan kedzaliman menjamur di berbagai tingkat aparatur negara.
Seringkali penerapan hukum sangat cepat dan tegas terhadap rakyat biasa, tapi hukum tumpul jika berhadapan dengan orang yang punya kekuasaan, tumpul terhadap tokoh elit, para pemilik modal dan orang-orang berpengaruh.
Sistem kapitalisme telah gagal membentuk lembaga hukum yang bisa dipercaya dan mampu melindungi rakyatnya. Bahkan lembaganya seringkali dijadikan alat demi kekuasaan dan kepentingan beberapa pihak.
Sistem kapitalisme yang hukum-hukum dan kebijakannya lahir dari akal manusia rentan dengan kepentingan dan mudah dimanipulasi.
Selama manusia diberi hak untuk membuat hukum, hukum hanya menjadi alat untuk mewujudkan “kepentingan kelompok berkuasa”. Serta hanya akan melahirkan kerusakan tiada akhir pada manusia itu sendiri.
Untuk mengakhiri ketimpangan dalam penegakan hukum, sudah seharusnya kita kembali pada solusi yang dibawa oleh Islam. Islam mempunyai mekanisme yang mampu menjamin keberhasilan penegakan hukum, antara lain:
Pertama, semua produk hukum harus bersumber dari Allah SWT. Seluruh konstitusi dan undang-undang yang diberlakukan oleh negara hanya boleh bersumber dari wahyu-Nya. Netralitas hukum bisa terwujud tatkala hak membuat hukum tidak diserahkan pada manusia, tetapi pada Penciptanya.
Kedua, di mata hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan setara; baik itu Muslim, non-Muslim, pria maupun wanita. Tidak ada kekebalan hukum atau hak istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal harus dihukum sesuai dengan jenis pelanggarannya.
Dalam riwayat shahih, pernah seorang wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian. Para pembesar mereka meminta kepada Usamah bin Zaid membujuk Rasulullah saw. agar meringankan hukumannya.
Rasulullah saw. murka seraya berdoa, “Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian tatkala yang mencuri dari kalangan bangsawan, mereka membiarkannya; jika orang lemah yang mencuri, mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.” (HR.Bukhori).
Wallahu a'lam bi asy-shawab.
Tags
Opini