Sumber: forbes.com
Oleh: Ummu Diar
Dugaan penghindaran pajak skala besar kembali terangkat ke publik. Saat ini dunia sedang dihebohkan oleh Pandora Papers yang mengungkap kebocoran data mengenai skandal penggelapan harta kekayaan dan penggelapan pajak orang-orang terkaya dan penguasa dunia. Pandora Papers disebut sebagai tsunami data yang mengungkap 11,9 juta rekam data dari 14 perusahaan keuangan offshore yang berbeda.
Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) sebagai pihak yang memperoleh data tersebut mengungkapkan, bocaran data pada Pandora Papers mengungkap rekam jejak elit dunia yang memanfaatkan wilayah atau negara surga pajak (tax havens) untuk membeli properti dan menyembunyikan aset mereka. Dengan demikian, para elit global tersebut bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak di negara asal mereka. [1]
Sebelumnya Panama Papers dan Paradise Papers telah muncul ke permukaan, dengan fenomena yang hampir sama. Berkaitan dengan masalah penyimpanan aset kekayaan dan juga perpajakan. Hal ini memberikan gambaran bahwa kejadian serupa juga mungkin terjadi di lain kesempatan, atau bisa jadi ada yang belum terangkat ke permukaan.
Maka dari itu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ada kesan pajak menjadi beban? Seuatu yang dirasakan berat untuk ditunaikan. Wajar bila ujungnya pemilik harta juga memutar otak. Menempuh banyak usaha agar harta yang sudah berhasil mereka kumpulkan tidak keluar dalam jumlah besar. Agar tetap dalam posisi aman sembari terus dikembangkan, semakin kaya.
Bila di level kaya raya saja demikian adanya, bagaimana di level bawahnya? Apakah mereka juga tidak merasakan pajak sebagai hal yang memberatkan? Apalagi di tengah kondisi saat ini, banyak yang tidak beruntung dalam hal pendapatan. Bahkan tak sedikit yang tidak memiliki pendapatan, namun disisi lain ada kewajiban di luar urusan pangan sandang dan papan yang tetap harus dibayarkan.
Kondisi berat sebelah ini bisa jadi akan terus terjadi selama pajak dipandang sebagai aset utama pendapatan negara kapitalis. Penarikan pajak akan menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Dan bisa jadi upaya menghindar dari pajak untuk mengamankan harta masih akan dijumpai. Kemudian terungkap ke publik sebagai skandal kapital global.
Semuanya ini memberikan pelajaran, bahwa kebijakan kapitalisme yang dinilai lebih mengedepankan pajak sebagai sumber pemasukan utama, bukanlah konsep ideal. Di samping adanya keberatan bagi sebagian kalangan, juga memungkinkan pengemplangan sistematis skala global.
Dengan demikian perlu ada konsep alternatif yang menunjukkan pengutamaan sumber pendapatan lain sebelum melirik pajak. Bercermin pada kekayaan ekonomi Islam yang mengiringi kegemilangan peradabannya, ada sumber pendapatan baitul maal yang dapat diandalkan.
Sumber pendapatan baitul mal dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama: sumber dauriyyah, yaitu sumber keuangan yang dikumpulkan dalam waktu-waktu tertentu dalam satu tahun berjalan, diantaranya: zakat, kharaj, jizyah, al usyur.
Kedua, sumber ghairu dauriyyah, artinya sumber keuangan yang dimasukkan ke dalam baitul mal tanpa periode tertentu dalam tahun berjalan, diantaranya: ghanimah dan fai, barang tambang (ma’din) dan harta terpendam (rikaz), harta warisan dan wasiat, shadaqah tatawwu’, nazar dan kafarat. [2]
Dengan pengelolaan yang rapi, stabilitas keuangan baitul maal dapat terjaga. Ditambah individu yang dekat dengan Allah, amanah pengelolaan akan dilakukan dengan hati-hati. Sehingga kebutuhan penarikan pajak sebagai skema pendapatan tidak diutamakan. Hal ini mengurangi adanya keberatan dari beban pajak, sehingga skandal kapital global dapat dihindari.
Jadi bukankah seharusnya sistem ekonomi demikian yang seharusnya dihadirkan kembali? []
Referensi:
1. https://money.kompas.com/read/2021/10/04/152323426/setelah-panama-dan-paradise-papers-muncul-pandora-papers-apa-bedanya
2. https://alamisharia.co.id/id/kamus-keuangan-syariah/baitul-mal/