Oleh: Atik Hermawati
Kasus mural wajah Presiden Jokowi yang bertuliskan 404: Not Found dan berlatar merah sempat ditindak dengan alasan menghina simbol negara. Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kota Abdul Rachim mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap pelaku pembuat mural tersebut. Saat itu hanya mural wajah Jokowi yang dihapus, sedangkan deretan mural lainnya di dinding tersebut dibiarkan. (Cnnindonesia.com, 15/08/2021).
Seorang yang bernama RS pun sempat diamankan oleh Polres Tuban, Jawa Timur sebab hendak menjual kaus bergambar mural 'Jokowi: 404 Not Found'. Kemudian dibebaskan setelah RS membuat pernyataan maaf dan mengaku bersalah. Kemudian di Klaten, kepolisian mengusut selebaran yang bertuliskan "Dipaksa Sehat di Negara Sakit" yang tersebar.
Sikap terlalu responsif aparat pemerintah pada para pengkritik tersebut dianggap sebagai cara membungkam sikap kritis rakyat. Tanggapan itu muncul dari berbagai kalangan, hingga akhirnya Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto mengungkapkan pada wartawan (18/8) bahwa ia meminta pada pihaknya agar tidak terlalu reaktif dalam menanggapi kritik semacam itu sebab Presiden Jokowi tidak berkenan atas hal demikian. Lanjutnya mural kritik sosial diperbolehkan dengan memperhatikan tempat yang seharusnya. Namun tempat yang 'seharusnya' tidak dijelaskan pihaknya. (Tempo.co, 19/08/2021)
Mural dan Luahan Kekecewaan Masyarakat
Sulitnya kehidupan masyarakat di berbagai sendi, menyimpan berjuta kekecewaan rakyat terhadap janji dan realisasi pemerintah. Namun, kekecewaan itu tak bisa disalurkan langsung dengan mudah. DPR yang katanya sebagai penyambung lidah rakyat, kini tak bisa lagi diharapkan. Berbagai aspirasi mereka sama sekali tak mewakili apa yang dibutuhkan. Justru semakin hari, DPR menjadi kepanjangan tangan para penguasa dan pengusaha untuk menggolkan kepentingan mereka. Lagi-lagi kekecewaan rakyat bertambah dengan aturan yang semakin membuat susah.
Akhirnya berbagai mural menjadi wasilah para seniman kritis dalam menyampaikan kritik sosial yang mewakili suara rakyat. Tempat-tempat yang strategis menjadi tempat pilihan membuat mural tersebut. Kata-kata singkat namun 'ngena' menjadikan setiap orang yang melihat mudah menangkap makna. Berharap pihak yang dituju yakni pemerintah memberikan solusi pasti.
Alih-alih mendapatkan perhatian dan solusi pemerintah, di negeri yang katanya bebas berpendapat ini justru dianggap sebagai suatu kriminal. Menghina simbol negara, tempat yang tak layak, dan sebagainya menjadi alasan aparat menindak dan menghapus seni kritis tersebut.
Meskipun kini mereka berbalik mengapresiasi sebab tindakan represif mereka telah menuai badai kritik juga dari berbagai kalangan, namun tetap saja masyarakat takkan lupa berbagai cara mereka membungkam jeritan hati pilu atas kezaliman yang ada. Mulai dari dunia maya, mereka menggunakan UU ITE dengan pasal multitafsir atas hoax dan hate speech (ujaran kebencian). Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah menjelma menjadi pasukan yang mengekang suara oposisi pemerintah yang berkuasa.
Kebebasan Berpendapat dan Standar Gandanya
Kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pilar negeri demokrasi ini, ternyata memuat standar ganda. Begitu banyak kasus yang dipersoalkan saat mengkritik penguasa, dan sebaliknya yang menyebarkan pencemaran, penistaan agama, provokasi, pemahaman sesat, dan sejenisnya ditindak lamban bahkan dibiarkan.
Masih ingat penanganan kasus Victor Laiskodat dengan Jonru Ginting, juga HRS dan Firza Husein dengan Abdullah Azwar Anas, mereka mendapatkan penanganan yang berbeda. Para politikus yang terjerat lamban diproses bahkan berakhir tanpa bui, padahal ujaran kebencian dan penistaan terhadap kebenaran dengan bukti nyata. Berbeda halnya dengan masyarakat umum bahkan ulama yang kritis terhadap kezaliman yang ada, mereka difitnah dengan ujaran kebencian dan hoax lalu ditangkap dengan secepatnya tanpa pembuktian yang jelas. Belum lagi Mohammad Hisbun Payu dan sederet aktivis mahasiswa lainnya dan para emak-emak militan yang ditangkap karena cuitan kritiknya juga menambah daftar panjang ketidakadilan di negeri ini.
Ide kebebasan berpendapat yang lahir dari rahim sekularisme ini pun sejak awal telah meniscayakan pendapat yang sebebas-bebasnya tanpa koridor benar-salahnya dalam syariat. Sebab pemisahan agama ialah asasnya. Sehingga tak heran jika ide-ide yang menyimpang begitu menjamur disebarkan tanpa ada hambatan. Seperti kesetaraan gender dan childfree (keputusan untuk tidak punya anak) yang diusung kaum feminis, LG3T, ajaran Baha'i, pluralisme, dan sebagainya bebas disuarakan sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berlindung di balik HAM. Semuanya mengarah pada penistaan, pengikisan, pengaburan, bahkan penghancuran ajaran Islam. Sudah tentu seruan ajaran Islam yang benar terutama menyangkut urusan publik (pemerintahan, sosial, dsb.) begitu dibungkam, dicap radikal, dan mengancam kebhinekaan.
Jelas sudah kebebasan berpendapat yang dianut demokrasi berstandar ganda dan alat Barat untuk membungkam suara kebangkitan hakiki (Islam). Demokrasi hanya memberi ruang jika tidak mengganggu kelangsungan kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi Kapitalis. Dan tetap akan dikriminalisasi apabila tidak sesuai hal itu meskipun pendapat yang disuarakan ialah kebenaran. Sehingga masihkah masyarakat negeri muslim ini berharap pada sistem ini?
Hak Berpendapat dalam Khilafah
Allah SWT telah memerintahkan secara tegas untuk melakukan muhasabah al-hukkam (mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan). Dimana hal itu ialah ciri khas umat muslim untuk dakwah yakni amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh pada kebenaran dan mencegah kemungkaran) sebagai umat terbaik. Allah SWT berfirman, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110).
Koreksi dan kontrol umat terhadap penguasa ini diwadahi dalam Majelis Umat. Tugasnya untuk melakukan muhasabah terhadap perilaku penguasa dan para pejabat yang bertentangan dengan syariat Islam (seperti melanggar dan melalaikan hak-hak serta urusan rakyat, memutuskan hukum dengan selain wahyu dari Allah SWT, dll.), juga memiliki hak syura yakni meminta atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan.
Para anggota Majelis Umat terdiri dari muslim dan non muslim baik laki-laki maupun perempuan. Mereka harus mewakili individu-individu, masyarakat, ataupun kelompok secara representatif, ini adalah pijakan saat Rasulullah memilih para penanggung jawab (nuqaba'). Saat Baiat Aqabah II, dari Kaab bin Malik Rasulullah saw. bersabda, "Keluarkan (pilihlah) kepadaku dua belas naqib dari kalian yang bertanggung jawab atas kaum mereka." (HR. Ahmad). Saat itu beliau pun memerintahkan dua wanita untuk memilih naqib dan memberikan hak bagi keduanya.
Setiap anggotanya memiliki hak berpendapat tanpa ada suatu keberatan apapun, dengan batas-batas yang diperbolehkan syariah. Sehingga pendapat yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus tentu tak ada ruang. Kemudian Majelis Umat ini bukan dari pihak pemerintahan. Sudah tentu balas budi, pro-oligarki, korupsi, dan pembagian kursi serta pembuatan hukum berdasarkan nafsu, semuanya tidak ada. Tidak seperti badan legislatif dalam demokrasi saat ini.
Dengan demikian dalam sistem Islam yakni Khilafah, kritik umat atas kezaliman penguasa atau pejabat ialah kewajiban bukan kriminal. Semua itu telah dicontohkan baik selama kepemimpinan Rasulullah saw. maupun para Khulafaur Rasyidin. Para sahabat lainnya pernah mengoreksi Khalifah Umar bin Khaththab ra. terkait pembagian selimut dari Yaman, juga seorang wanita pernah memprotes beliau terkait pelarangan penambahan mahar. Rasulullah bersabda, "Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud).
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini