Ribut-ribut Sengketa, Dimana Peran Penguasa?

 

Oleh: Siti Maisaroh 

Baru-baru ini, beredar kabar yang mengusik ruang dengar. Dimana 
PT Sentul City buka suara perihal massa melakukan perusakan Kantor Desa Bojong Koneng, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, gara-gara tak terima upaya penggusuran oleh pihak Sentul City. Head of Corporate Communication PT Sentul City, David Rizar Nugroho, menegaskan pihaknya hanya menggusur tanah garapan milik warga pendatang yang mendirikan bangunan liar di atas tanah milik Sentul City. Detik.com(03/10/2021)

Kasus sengketa lahan Sentul City mengungkap segudang sengketa lahan yang belum bisa diatasi dengan undang-undang. Bagaimana tidak, sederet kasus sengketa lahan yang  telah menelan korban dikalangan masyarakat seolah bukan menjadi persoalan bagi pemerintah negeri ini. Sehingga membuat kasus ini semakin berlarut-larut dan menunjukkan keberpihakkan pada korporasi.

Bahkan, Kasus sengketa lahan yang melibatkan Korporasi dan masyarakat bukan kali ini saja terjadi. Dilansir dalam kompas.com, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) mencatat hingga Oktober 2020, sengketa konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan berjumlah 9.000 kasus. Jumlah kasus konflik pertanahan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia. (04/11/2020)

Sungguh, tindakan yang sangat tidak adil bagi rakyat yang menjadi korban sengketa lahan ini. Berharap penguasa akan memberikan keadilan pada kasus sengketa lahan, yang berdampak pada hilangnya tempat tinggal mereka akibat ulah korporasi yang seenaknya membuldozer tempat tinggal warga setempat. Malah, berpihak pada korporasi dan pengusaha yang lebih  memberikan keuntungan pada penguasa.

Sengketa antara masyarakat dan korporasi yang tidak mendapat respon cepat dari pemerintah dapat berakibat konflik horizontal berupa perusakan fasilitas publik. Sebab, di mata rakyat itulah salah satu jalan yang harus ditempuh untuk menggambarkan kekesalan terhadap pemerintah dan aturan negeri ini setelah segala upaya penyelesaian kasus sengketa ini diabaikan oleh pemerintah. 


Inilah yang terjadi jika negeri ini mengadopsi sistem kapitalisme-sekuler  sebagai landasan dalam membuat atau menerapkan aturan ditengah masyarakat. Pada akhirnya yang dikejar adalah berapa besar keuntungan materi yang diperoleh. Sehingga tidak akan ada keadilan dan kesejateraan bagi rakyatnya. 

Pada akhirnya kasus sengketa lahan ini menunjukkan lemahnya negara dan penguasa dalam menuntaskan persoalan-persoalan penting di tengah masyarakat. 

Berbeda halnya jika aturan Islam yang diterapkan dalam menyelesaikan persoalan ditengah masyarakat, utamanya kasus sengketa lahan. 

Dalam Islam perampasan lahan milik individu untuk kepentingan korporasi sangatlah dilarang. Jika negara mengatasnamakan pembebasan lahan itu untuk kepentingan publik, proses pembebasan lahan itu haruslah melalui kerelaan individu tersebut. Sebagai gantinya, negara membeli tanah itu dengan kompensasi sepadan yang membuat mereka ridha melepas lahan. Jika terjadi penolakan warga atas pembebasan lahan, negara tidak boleh memaksakan hal itu.

Islam memerintahkan pengelolaan kekayaan milik umum harus memiliki paradigma bahwa negara mewakili rakyat untuk mengelola kekayaan alam tersebut. Pembangunan yang berorientasi pada investasi asing dan kerjasama permodalan akan memberi peluang bagi asing meraup untung dengan sistem bagi hasil sesuai modal yang mereka investasikan.
Wallahu A'lam Bishowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak