Oleh : Eti Fairuzita*
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat 1.303 sekolah menjadi klaster COVID-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
Data Kemendikbudristek tersebut dihimpun dari survei yang dipublikasi di situs https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/kesiapanbelajar/home/survey-ptm-dashboard-spasial ,Kamis (23/9/2021).
Dirjen PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Jumeri mengatakan, Kemendikbudrsitek bersama Kementerian Kesehatan masih mengupayakan aktivitas PTM terbatas yang aman.
"Kami juga akan terus menyampaikan pembaruan data secara transparan untuk kesuksesan PTM Terbatas, mengingat bahwa pembelajaran jarak jauh berkepanjangan dapat berdampak negatif bisa menyebabkan anak-anak Indonesia sulit mengejar ketertinggalan," kata Jumeri dalam keterangan tertulis, Rabu (22/9/2021).
Sementara itu, data per 22 September 2021 dari aplikasi Survey Sekolah di laman Kemendikbud tersebut menunjukkan sebanyak 25 klaster sekolah terdapat Jakarta dari total 900 responden sekolah. Sebanyak 227 pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dan 241 peserta didik (PD) positif COVID-19.
Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, sekolah tatap muka tidak akan diberhentikan. Ia menambahkan, sekolah yang menjadi klaster COVID-19 saja yang ditutup hingga kembali aman untuk PTM terbatas.
"Tidak, tidak (dihentikan). PTM terbatas masih dilanjutkan, prokes harus dikuatkan dan sekolah-sekolah di mana ada situasi seperti itu harus ditutup segera sampai aman," kata Nadiem di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/9/2021).
"Itu terus kita monitor, itu temuannya. Bukan berarti PTM-nya akan diundur, masih harus jalan, terbuka, tapi sekolahnya masing-masing kalau ada kasus klaster ya harus ditutup segera, memang seperti itu," kata Nadiem.
Meski sekolah tatap muka atau PTM terbatas sudah digelar, jangan lupa menerapkan protokol kesehatan dan 3M agar tidak terhindari dari COVID-19.
https://www.detik.com/edu/sekolah/d-5737484/klaster-sekolah-covid-ptm-sebaran-wilayah-dan-tanggapan-nadiem
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sangat menyayangkan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Pasalnya, telah membolehkan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah yang berada pada PPKM Level 1-3, meskipun para siswa belum divaksinasi.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengkhawatirkan tindakan gegabah tersebut. Menurutnya, vaksinasi anak dan guru harus dituntaskan di sekolah tersebut sebelum dilaksanakannya PTM terbatas.
Sementara itu, Sekretaris Nasional P2G Afdhal, menyoroti perbandingan kuantitas siswa yang sudah divaksinasi dengan rombongan belajar (rombel) atau kelas. Kata dia, dari data vaksinasi anak ini, perbandingannya 10:100.
“Seandainya satu kelas terdiri dari 30 siswa, hanya 3 orang saja yang sudah divaksinasi dan 27 siswa yang belum divaksinasi. Perbandingan siswa yang sudah divaksinasi dengan yang belum sangat jauh. Jadi herd immunity di sekolah saja belum terbentuk. Tentu ini sangat membahayakan keselamatan anak,” ungkapnya.
Selain tuntasnya vaksinasi anak dan guru serta pemenuhan Daftar Periksa sarana-prasarana pendukung protokol kesehatan, syarat penting PTM Terbatas berikutnya adalah persetujuan atau izin dari orang tua.
Pihaknya meminta sekolah jujur dan terbuka mengenai kesanggupan mereka untuk melaksanakan PTM Terbatas sesuai prokes.
Sekolah mesti menyampaikan data pemenuhan minimal 11 item daftar periksa pendukung PTM, data warga sekolah yang punya komorbid, masih terinfeksi Covid-19, sedang isoman atau dirawat di rumah sakit, dan data mengenai ketuntasan vaksinasi warga sekolah. Semua data di atas harus disampaikan kepada orang tua/wali murid apa adanya.
“Jika orang tua/wali murid sudah mendapatkan informasi jelas dan komprehensif mengen
Pembelajaran tatap muka (PTM) memang dinilai cenderung lebih efektif dibandingkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini karena melihat kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan PJJ yang masih jauh dari harapan.
Akibatnya selama masa pembelajaran jarak jauh terjadi banyak penurunan capaian belajar, hingga putus sekolah.
Desakan kondisi ini telah membuat pemerintah untuk menyiapkan pembelajaran tatap muka, namun sayang tidak seiring dengan kebijakan penyiapan infrastruktur untuk kebutuhan PTM di tengah pandemi.
Kebijakan mengizinkan pembelajaran tatap muka (PTM) dengan syarat vaksinasi 70% pun sejatinya tidak bisa menjamin perlindungan dari penyebaran virus walaupun dikuatkan dengan ketatnya protokol kesehatan oleh siswa dan tenaga pendidik.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko mengatakan, pembelajaran tatap muka (PTM) dapat dilakukan jika tingkat kasus positif infeksi virus corona di suatu daerah rendah atau kurang dari lima persen, sehingga masuk dalam kategori zona aman. Sementara tingkat positif (positive rate) di Indonesia berada di angka 8 persen yang melebihi standar aman positivity rate yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Artinya, ada potensi penularan tinggi dan berbahaya bagi siswa dan tenaga pendidik jika dilakukan pembelajaran dengan tatap muka.
Pemerintah nampaknya mengambil kebijakan karena desakan kondisi yang diciptakannya sendiri. Sebab, seandainya pemerintah mampu membuat mekanisme pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang efektif tentu tidak akan ada desakan disegerakannya pembelajaran tatap muka (PTM) dari masyarakat.
Tak heran, jika publik meragukan kesungguhan pemerintah dalam menyiapkan pembelajaran tatap muka dimasa pandemi, sebab PJJ saja masih menyisakan berbagai masalah yang belum diselesaikan dengan baik . kebijakan-kebijakan pemerintah dalam aspek pendidikan ini semakin menampakkan lemahnya negara dalam memberi jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat diantaranya pendidikan. Sebab kebijakan ini lahir dari sistem demokrasi kapitalis yang lebih mempertimbangkan kemudahan dalam hal ekonomi atau untung dan rugi tanpa memperhatikan keselamatan jiwa rakyat.
Karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah mustahil dapat menyelesaikan problem masyarakat yang ada justru muncul masalah baru.
Bila negara serius menyelesaikan problem pembelajaran di masa pandemi, tak cukup dengan keputusan PTM dan menghimbau peningkatan prokes, namun negara seharusnya benar-benar hadir memastikan terlaksananya prokes dan PTM secara optimal.
Karena sejatinya, penetapan standar sekolah layak PTM, standar prokes, SDM satgas covid dan pengajar saat pandemi hanya menunjukkan lepas tangan negara dari posisi penanggung jawab menjadi sekedar regulator semata.
Negara seharusnya hadir menyediakan semua perangkat, fasilitas dan tambahan SDM berikut kebutuhan biaya untuk menjalankan PTM berstandar pandemi.
Negara bisa mengalihkan dana atau anggaran untuk proyek moderasi, Ibukota baru atau proyek-proyek KEK karena kebutuhan layanan Pendidikan (dengan PTM terbatas protocol covid) adalah kewajiban mutlak negara yang saat ini sangat mendesak untuk segera diwujudkan.
Berbeda dengan kebijakan pemimpin dalam Khilafah. Kebijakan Khalifah dipastikan akan penuh pertimbangan matang, karena Khalifah harus menjalankan prinsip sebagai ra'in (pengurus dan pemelihara) sekaligus sebagai junah (perisai dan pelindung).
Khalifah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan rakyat, terpenuhinya fasilitas dan kebutuhan kesehatan, serta terpenuhinya fasilitas dan kebutuhan pendidikan untuk rakyat semua dalam level kualitas terbaik dan bersifat cuma-cuma atau gratis. Karenanya, meski terjadi kondisi yang tidak biasa semisal wabah pendidikan tidak akan menjadi beban rakyat dan kualitas generasi tetap terjaga.
Sistem pendidikan dalam Khilafah menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam, semua upaya dalam mekanisme pembelajaran tidak akan melenceng dari tujuan kurikulum tersebut yakni membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, handal menguasai pemikiran dan tsaqofah Islam, menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK, serta memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Guru akan mudah dalam mengimplementasikan kurikulum di tengah keterbatasan akibat pandemi. Guru dan siswa tidak akan dikejar capaian akademik semata sebagaimana sistem pendidikan saat ini. Dengan metode apapun, baik tatap muka ataupun daring implementasi kurikulum akan tetap bisa dilakukan.
Terlebih lagi, Negara Khilafah yang menerapkan syariat Islam pastilah akan menjaga lingkungan sosial, masyarakat, dan keluarga. Kondisi lingkungan sosial adalah kondisi Islami dan fastabiqul Khairat, dimana masyarakat akan dijauhkan dari gaya hidup materialis, liberalis, dan hedonis. Masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang taqwa dan gemar melakukan amar ma'ruf nahi mungkar.
Demikian keluarga tidak akan dihimpit ekonomi yang akan berujung pada disfungsi peran ibu.
Keluarga dalam Khilafah benar-benar akan menempatkan peran ibu sebagai ummu wa rabbatul bayt dan pendidik generasi. Semua itu tentu akan memastikan keberhasilan pendidikan walaupun dimasa pandemi. Negara juga memastikan anggaran mencukupi bagi kebutuhan pendidikan.
Walhasil, penyelenggaraan pendidikan terbaik yang akan menghasilkan kualitas SDM unggul hanya akan terwujud dengan syariat Islam secara kaffah dalam naungan negara Islam, yakni Khilafah.
Wallahu alam bish-sawab
*(Menulis Asyik Cilacap)
Tags
Opini