Oleh : Ummu Hanif (Pemerhati Sosial dan Keluarga)
Perkembangan teknologi ke arah serba digital saat ini semakin pesat. Pada era digital seperti ini, manusia secara umum memiliki gaya hidup baru yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik. Teknologi menjadi alat yang mampu membantu sebagian besar kebutuhan manusia. Teknologi telah dapat digunakan oleh manusia untuk mempermudah melakukan apapun tugas dan pekerjaan.
Peran penting teknologi inilah yang membawa peradaban manusia memasuki era digital. Era digital telah membawa berbagai perubahan yang baik sebagai dampak positif yang bisa gunakan sebaik-baiknya. Namun dalam waktu yang bersamaan, era digital juga membawa banyak dampak negatif, sehingga menjadi tantangan baru dalam kehidupan manusia di era digital ini. Tantangan pada era digital telah pula masuk ke dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan teknologi informasi itu sendiri.
Benar, media adalah salah satu bentuk dari sarana yang sifatnya mubah. Namun, tentu dia tidak bisa lepas dari sistem yang menggunakannya. Ketika sistem kapitalis yang saat dijalankan oleh semua negara di dunia, maka media adalah sarana untuk memasarkan peradaban kapitalis yang sarat dengan budaya barat. Jauh dari nilai – nilai islam.
Sehingga kita dapati, banyak sekali media, khususnya televisi yang menyiarkan acara-acara hiburan yang tidak mendidik. Sebut saja salah satunya sinetron remaja yang mengisahkan kisah cinta anak sekolah dengan kehidupan yang serba glamour dan modern. Inilah salah satu contoh tontonan yang tidak memiliki nilai pendidikan moral yang sama sekali tidak patut untuk dilihat para remaja dan anak-anak. Namun nyatanya, tontonan ini justru sangat digandrungi oleh remaja, bahkan juga anak-anak yang semestinya belum mengerti apa itu ‘cinta’ dan apa itu ‘pacaran’.
Dalam sinetron selalu dikisahkan tentang perjalanan dan lika-liku cinta dua sejoli yang tampaknya semua itu terasa menyenangkan dan membuat hidup lebih berwarna jika laki-laki dan perempuan menjalin ikatan kasih yang disebut dengan ‘pacaran’.
Itulah yang membuat fenomena pacaran di kalangan remaja sudah dianggap sangat wajar dan lumrah. Bahkan, akan dianggap sangat aneh jika ada remaja yang belum pernah memiliki pacar sama sekali. Bahkan dampak ikutannya adalah melakukan sex di luar nikah menjadi trend yang sangat mengkhawatirkan.
Itu masih dari televisi, yang lebih dekat lagi adalah gadget. dimana arus informasi begitu deras mengalir dihadapan kita, termasuk remaja, hanya dengan sekali sentuhan jari. Mirisnya, di masa pandemi ini, kejadian pernikahan anak semakin meninggi.
Dikutip dari Info Singkat, Puslit Badan Keahlian DPR RI, sebanyak 400–500 anak perempuan usia 10–17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Tercatat, sebanyak 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, dan 97%-nya dikabulkan. KemenPPPA pun mencatat angka perkawinan anak meningkat menjadi 24.000 selama pandemi. (www.parapuan.com, 23/8/2021)
Jika harus menyalahkan, ini salah siapa? Apakah salah sinetron, gadget atau salah orangtua? Yang jelas, kita semua harus saling merenung dan introspeksi diri. Dan seharusnya kita juga mencari jalan keluarnya bagaimana agar remaja-remaja penerus bangsa ini tidak memiliki moral yang rusak dan terjerumus dalam pergaulan bebas yang dapat menyesatkan kehidupan mereka di masa mendatang. Bahkan jika kondisi ini tidak dicari jalan keluarnya secara tuntas, akan menyimpan bom waktu masalah yang siap meledak untuk menghancurkan peradaban manusia di masa yang akan datang.
Islam sebagai agama yang sempurna, sebenarnya telah memiliki solusi tuntas menyelamatkan generasi dari pergaulan bebas. Aturan menutup aurat, larangan ikhtilat dan kholwat adalah benteng pergaulan. Terlebih penanaman aqidah yang ditanamkan sejak usia dini, akan menjadi “rem” dalam pergaulan. Selain itu, kontrol dari masyarakat juga turut andil dalam upaya mencegah pergaulan bebas, tidak seperti saat ini, sikap individualis lebih dominan karena kesibukan dunia. Sehingga masyarakat seakan membiarkan meski ada penyimpangan di masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah peran negara, negara harusnya mampu mengelola media untuk penanaman aqidah, ketaatan terhadap Islam dan pencerdasan umat tentang Islam sebagai ideologi, bukan malah membiarkan konten – konten perusak aqidah demi rating dan segebok rupiah. Lebih dari itu, peran negara juga bisa memberi sanksi tegas bagi para pelaku pelanggaran syara’ termasuk aktivitas pacaran, apalagi yang sampai melkaukan sex diluar nikah. Sehingga ada efek jera bagi para remaja yang mencoba untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bi ash showab