Oleh : Nikmatus Sa'adah
Bergulir wacana kebijakan pajak, Pemerintah belum lama ini memutuskan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 10% menjadi 11% mulai April 2022. Kemudian, paling lambat 1 Januari 2025, tarif PPN akan dinaikkan lagi menjadi 12%. Tarif baru ini tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang diterima CNNIndonesia.com. Saat ini, draf sudah disetujui oleh pemerintah dan DPR.
"Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022," tulis Pasal 7 ayat 1 RUU HPP tersebut, seperti dikutip pada Jumat (30/9).
Artinya, dengan kenaikan PPN ini maka mulai tahun depan barang yang dikonsumsi masyarakat berpotensi akan mengalami kenaikan harga.
Ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey tetap mengharapkan ada penyesuaian dalam aturan teknis Undang-Undang terbaru itu. Meski kenaikan tidak besar, dia mengatakan bahwa sentimen yang mengemuka bisa masif mengingat PPN menjangkau berbagai sektor. “Karena itu kami berharap di petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis lewat peraturan menteri atau aturan lainnya bisa tetap mempertimbangkan perkembangan ekonomi. Meski berangsur membaik, pemulihan berjalan tidak serta-merta,” kata Roy, Kamis (7/10/2021).
Nyatanya terlihat bahwa beban masyarakat makin berat, harapan agar perekonomian segera pulih pun akan makin sulit terwujud.
Rapuhnya Sistem Ekonomi Kapitalisme
Pada kondisi sekarang ini, benar jika pemerintah membutuhkan dana untuk pemulihan ekonomi serta membantu rakyat yang terdampak pandemi, bahkan hingga utang luar negeri pun ikut naik hingga 16 ribu trilliun. Darna dari utng nyatanya juga masih kurang, sehingga pemerintah mencari celah pemasukan dari berbagai kantong, salah satunya kenaikan pajak PPN ini.
Namun, tepatkah kebijakan kenaikan pajak di tengah pandemi dan krisis? Bukankah pada kondisi saat ini yang lebih bertanggung jawab adalah negara? Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini nyatanya tak mampu memberi solusi penyelesaian tepat atasi pandemi dan krisis. Pajak menjadi tulang punggung ekonomi kapitalisme, padahal kenaikan pajak sesungguhnya bukan solusi.
Indonesia sendiri, sesungguhnya dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Dari Sabang sampai Merauke memiliki hasil tambang dan bumi, bahkan juga memiliki kawasan hutan yang menjadi paru-paru dunia. Selain itu, juga memiliki mineral tambang yang besar, seperti minyak bumi, emas, gas alam, dan timah.
Misal semua potensi SDA itu dimiliki oleh negara seutuhnya, dan dikelola sesuai syari'ah, maka pasti akan mampu menyejahterakan rakyat. Namun sebaliknya, SDA tersebut nyatanya dikuasai dan dikelola oleh asing, sehingga rakyat hanya sebagai pekerja di rumahnya sendiri. Akibatnya adalah negara terus menggenjot pajak sebagai pemasukan kas negara.
Islam solusi paripurna
Islam sesungguhnya bukanlah agama ritual semata, namun Islam juga sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam sistem Islam, penarikan pajak dilakukan sebagai solusi terakhir jika negara yang dilanda krisis dan kondisi kas di Baitul Mal kosong. Pemasukan negara Islam yaitu terdiri dari kepemilikan umum, kepemilikan negara, zakat, kharaj, fa'i dan jizyah.
Jika kodisi kas negara kosong sementara negara membutuhkan dana untuk menangani krisis, maka negara akan melakukan penarikan pajak kepada orang-orang muslim yang kaya. Dan hal ini dilakukan tidak kontinyu.
Maka sesungguhnya, butuh segera solusi atas semua permasalahan yang terjadi, yaitu diterapkannya aturan Islam agar tata kelola sumber daya alam salah satunya berjalan sesuai dengan fitrah. Sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.