Oleh : EVA ANDRIANI
Saat ini kita sering mendapatkan notifikasi SMS yang menawarkan PINJOL( pinjam online) yang menggiurkan dengan jumlah pnjaman jutaan bahkan sampai puluhan juta dengan jangka waktu panjang dan bunga yang kecil, tapi nyatanya tidak sesuai dengan janji yang sudah di sampaikan dari awal hingga terjadilah berbagai peristiwa yang memilukan hati kita , misal yang di kutip dari TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak empat kasus bunuh diri setidaknya tercatat dalam beberapa tahun terakhir akibat jeratan pinjaman online . Kasus terbaru dialami oleh WPS, 38 tahuh, seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.Ia mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri pada Sabtu, 2 Oktober 2021, karena diduga tidak kuat menerima teror dari debt collector dari 23 pinjaman online atau pinjol yang menagih utang. Tapi setelah kejadian ini, dikabarkan tidak ada lagi penagih utang yang mendatangi rumah korban.
Pinjaman Online di era tengah digital menjadi tren di masyarakat kekinian. Kemudahan di dalam meminjam uang, hanya bermodalkan foto dengan KTP, membuat banyak orang terlibat terjerat ke dalamnya. Lalu bagaimana cara fikih terhadap fenomena kredit online tersebut?.
Pinjaman online yang memudahkan – terlebih dahulu di era pandemi – dipandang lebih efektif, lebih cepat dan mudah daripada harus bertemu secara langsung di lokasi untuk melakukan transaksi piutang.
Dalam rilis OJK (Otoritas Jasa Keuangan), hingga 22 Januari 2021 terdapat 148 penyedia jasa pinjol yang sudah legal, antara lain Danamas, Investree, Amartha, Dompet Kilat, Toko Modal, Uang Teman dan lainnya.
Namun demikian, sarana modern yang memberikan kemudahan untuk melakukan transaksi kredit online pada praktiknya memiliki banyak masalah di masyarakat. Mulai dari praktik ribawi seperti bunga pinjaman yang mencekik, ancaman bagi peminjam yang tidak bisa membayar hutang, penyebaran rahasia pribadi kepada publik melalui media sosial dan lain sebagainya. Mudahnya melakukan pinjaman online menjadikan banyak orang memilih pinjaman online sebagai jalan keluar masalah keuangan yang dihadapi. Namun, terdapat risiko pinjaman online yang harus dihadapi oleh peminjam terutama untuk peminjam di pinjaman online illegal. Tak jarang, dalam menghadapi risiko tersebut, peminjam mengalami putus asa dan mengakhiri hidupnya. Islam memang mengajar kan kita untuk bisa ta'awun( tolong menolong) dalam kebaikan dan ketaqwaan tapi yang di lakukan para pengusaha PINJOL Jauh sekali dari konsep memudahkan dan memberikan pertolongan yang mana itulah tujuan utang dalam syariat
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah 280). Dalam hadits disebutkan:
مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama dia (suka) menolong saudaranya.”(HR Muslim).
Pesan Rasulullah SAW, Jangan Mudah Minta-Minta Meski Butuh
Dalam hadits riwayat yang lain disebutkan perihal pentingnya memaafkan orang yang tidak mampu bayar hutang,
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (كان تاجر يداين الناس، فإذا رأى معسراً قال لفتيانه تجاوزوا عنه لعل الله أن يتجاوز عنا، فتجاوز الله عنه).
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW bersabda, ” Ada seorang pedagang yang memberikan pinjaman kepada manusia, maka jika dia melihat orangnya kesulitan, dia berkata kepada pelayannya: Bebaskanlah dia, semoga Allah membebaskan kita. (dari dosa-dosa dan adzab), maka Allahpun membebaskannya." (Muttafaq 'Alaih).
Ada 2 macam riba yang di praktekkan di sini yaitu : riba nasiah, yaitu tambahan karena penundaan dan juga riba fadhl, yakni tambahan yang disyaratkan oleh pihak pemberi utang dari nilai pokok utang," katanya.
Jika meminjam Rp 1 juta, peminjam menerima kurang dari Rp 1 juta. Uang pinjaman tersebut pun harus dikembalikan dengan nilai lebih dari Rp 1 juta karena ditambah bunga dan denda keterlambatan.
Riba kedua, pinjol membuat orang mudah meminjam walaupun tanpa kebutuhan yang jelas karena aksesnya cukup mudah. Hal ini jelas tidak sesuai dengan semangat syariat yang seketat mungkin mencegah seorang Muslim untuk gampang berutang. Dalam kajian fikih muamalah kontemporer pinjam uang dengan cara online hukumnya boleh.
Serah terima secara hukmiy (legal-formal/non-fisik) dianggap telah terjadi baik secara i'tibâran (adat) maupun secara hukman (syariah maupun hukum positif) dengan cara takhliyah (pelepasan hak kepemilikan di satu pihak) dan kewenangan untuk tasharruf (mengelola/memperjualbelikan/menggunakan di pihak lain), meskipun serah terima secara hissan (fisik barang) belum terjadi. (Baca: Al-Ma'ayir As-Syar'iyah An-Nasshul Kamil lil Ma'ayiri As-Syar'iyah, halaman 57).
Dalam ibarat fikih yang lain disebutkan,
العبرة العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ…. البيع الشراء اسطة التليفون التلكس البرقيات, ل هذه الوسائل الها معتمدة اليوم ليها العمل.
“Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafadznya, dan jual beli via telpon, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktekkan”.
(Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafiis, II/22)
Meski transaksi pinjamam online (pinjol) hukumnya boleh, tetapi orang atau lembaga yang mempraktikan kredit online memperhatikan beberapa hal sebagai berikut;
Pertama, tidak menggunakan praktik ribawi (riba: rentenir). Riba dalam berpiutang adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah kredit saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pinjaman untuk dipinjamkan oleh peminjam. Larangan praktik riba disebut secara eksplisit (shorih) dalam Al-Quran,
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah [2]: 275).
Larangan dan kecaman praktik riba disebut dalam banyak hadis Rasulullah, antara lain,
لَعَنَ لُ اللَّهِ -صلى الله ليه لم- لَ الرِّبَا لَهُ اتِبَهُ اهِدَيْهِ الَ اءٌ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR.Muslim)
Secara lebih rinci agar kita tidak terjebak praktik riba, Habib Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain binUmar al-Masyhur menjelaskan dalam kitabnya,
الْقَرْضُ الْفَاسِدُ الْمُحَرَّمُ الْقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ ا لْبِ الْعَقْدِ اطَآ لَيْهِ لَهُ لَمْ لْبِهِ لَمْ ازَ الْكَرَاهَةِ ائِرِ
“Praktek hutang yang rusak dan haram adalah menghutangi dengan adanya syarat memberi manfaat kepada orang yang menghutangi. Hal ini jika syarat tersebut disebutkan dalam akad. Adapun ketika syarat-syarat tersebut terjadi ketika sebelum akad dan tidak disebutkan di dalam akad, atau tidak adanya akad, maka hukumnya boleh dengan hukum makruh. Seperti halnya berbagai cara untuk merekayasa riba pada selain tujuan yang dibenarkan syariat.” (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 135)
Kedua, jangan menunda membayar hutang. Hukum menunda untuk membayar utang jika sudah hukum haram.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR.Nasa'i)
Dalam hadis riwayat Imam Bukhori disebutkan,
“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman….” (HR.Bukhori).
لأن المعنى لى الغني القادر ل الدين استحقاقه لاف العاجز
“Makna hadits di atas (“menunda utang bayar dzolim”) bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial membayar tertunda-tunda membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar),” (Syekh Badruddin al-'Aini, 'Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18, hal. 325).
Ketiga, memaafkan orang yang tidak mampu membayar hutang termasuk perbuatan mulia.
Hakikatnya hutang harus dibayar. Bahkan jika yang berhutangpun sudah meninggal, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk membayarnya. Namun, bagi orang yang meminjamkan, jika yang pinjam uang betul-betul tidak bisa berhutang, maka memaafkan adalah suatu perbuatan yang mulia dalam ajaran Islam.“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [02]: 280).
Dalam hadis disebutkan,
لِمٍ الدُّنْيَا، اللهُ الْقِيَامَةِ، اللهُ الْعَبْدِ ادَامَ الْعَبْدُ أَخِيْهِ
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari hari; dan Allah menolong hamba-Nya selamat ia (suka) Membantu saudaranya.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat riwayat yang lain yang disebutkan sebelumnya memaafkan orang yang tidak mampu membayar hutang,
الله النبي لى الله ليه لم ال: (كان اجر اين الناس، ا رأى اً ال لفتيانه اوزوا لعل الله اوز ا ا ).
“Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: ”Ada seorang pedagang yang memberikan kredit kepada manusia, jika ia melihat kesulitan orangnya, ia berkata kepada pelayannya: Bebaskanlah ia, semoga Allah kita (dari dosa-dosa dan adzab- ), maka Allah pun hadiahnya”. (Muttafaq 'Alaih).
Wallohu a'lam bi ash showwab
Tags
Opini