Pinjol, Bisnis Ribawi yang Harus Segera Diakhiri




Oleh : Eti Fairuzita*


Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate akan melakukan moratorium atau menghentikan sementara penerbitan izin bagi penyelenggara sistem elektronik atas pinjaman online (pinjol). “Kemkominfo pun juga akan melakukan moratorium penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru,” kata Johnny dikutip dari YouTube Setpres, Jumat (15/10/2021).

Kebijakan tersebut merupakan arahan langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan dalam rapat terbatas bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkominfo Johnny G. Plate, Gubernur BI Perry Warjiyo Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Wibowo. Selain Kemenkominfo, Jokowi juga memerintahkan hal yang sama kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni moratorium penerbitan izin fintech atas pinjol yang baru.

Johnny mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi persoalan pinjol ilegal yang merugikan masyarakat harus segera ditangani, salah satunya melalui penutupan akun pinjol oleh Kementerian Kominfo. Hingga hari ini, Menkominfo menyebut pihaknya telah menutup 4.874 akun pinjol.  "Periode 2021 saja yang ditutup 1.856 yang tersebar di website, Google Play Store, Youtube, Facebook, Instagram, dan file sharing," jelasnya. 
 https://m.bisnis.com/finansial/read/20211015/563/1454895/jokowi-setop-sementara-izin-pinjol-baru.

Kasus pinjol menjadi bukti buruknya dampak dari transaksi ribawi. Sepatutnya negara tidak hanya meregulasi atau melakukan moratorium, akan tetapi menghapus penyebab masyarakat bisa terjerat ke dalam transaksi riba tersebut, seperti kemiskinan, gaya hidup konsumtif dan adanya lembaga keuangan ribawi yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah dalam menyelesaikan masalah pinjol ini.
Karena regulasi negara juga dimungkinkan menjadi pintu fintech asing untuk masuk ke pasar Indonesia sehingga justru transaksi ribawi makin mengepung kehidupan umat ini.

Seperti yang dilansir oleh Tribunnews.com (15/10/2021),
Bayaran fantastis mengiming-imingi masyarakat untuk bekerja sebagai karyawan pinjaman online (pinjol) ilegal, yakni Rp15—20 juta per bulan untuk tiap karyawan. Penyedia dananya ternyata warga negara asing (WNA).   Bertajuk “Karyawan Pinjol Ilegal Peneror Ibu di Wonogiri Hingga Akhiri Hidup Digaji Rp20 Juta per Bulan” yang sempat membuat masyarakat mengelus dada.
 
Sungguh tidak mengherankan, pejabat nomor satu di Indonesia ini justru menyolusi maraknya pinjol ilegal dengan penerbitan moratorium izin pinjol baru. Presiden berkoordinasi bersama Menko Perekonomian, Menkominfo, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Kapolri. 
Persoalan pinjol ilegal memang menjadi perhatian khusus. Sebanyak 68 juta orang atau akun tercatat memanfaatkan layanan ini. 
Dengan financial technology (fintech), terjadi putaran uang atau omset mencapai Rp260 triliun. Sementara, saat ini baru ada 107 lembaga penyedia jasa pinjol yang terdaftar resmi di OJK dan tergabung dalam asosiasi fintech.

Berdasar regulasi yang ada, OJK tetap membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk membangun peer to peer (P2P) lending di Indonesia dengan syarat mematuhi semua regulasi tanpa terkecuali. Sesuai POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi, kepemilikan asing di sektor P2P lending terbatas hingga 85%. Per September 2019, terdapat 39 fintech asing yang terdaftar di Indonesia. Mereka memiliki platform fintech baru atau membentuk joint venture bekerja sama dengan mitra lokal.
Bagi asing, Indonesia merupakan pasar besar yang menggiurkan, potensinya luar biasa, pertumbuhan ekonominya sangat baik, PDB bagus, dan terdapat pelaku UMKM yang sangat banyak.

Temuan Satgas Waspada Investasi OJK menunjukkan banyak penyelenggara fintech asing ilegal dan 50% berasal dari tiga negara besar, yakni Cina, Amerika Serikat, dan Singapura. Satgas juga menemukan banyak pelanggaran oleh perusahaan fintech ilegal. Dengan posisi Indonesia yang sangat lemah di hadapan negara-negara besar, bagaimana masalah ini bisa selesai? OJK sendiri hanya mengawasi perusahaan fintech yang terdaftar dan memiliki izin usaha. 

OJK masih harus melaporkan perusahaan fintech ilegal kepada Kemenkominfo agar bisa men-take down mereka. Adapun yang menindak langsung, butuh lembaga negara lain. Artinya, ada regulasi rumit dan sulit dalam mengendalikan fintech asing. Apalagi pekerjaan rumah pemerintah makin bertambah banyak karena regulasi yang tidak berdasarkan syariat. Secara pasti, masyarakatlah yang akan menanggung kerugian terbesar akibat berkembangnya transaksi riba.

Sebagai bagian dari transaksi fintech, pinjol legal maupun ilegal sebenarnya sama saja, keduanya mengandung transaksi riba. Tidak bisa sepihak pinjol ilegal saja yang “digebuk”. Pemerintah juga wajib menutup pinjol legal, sebab setiap transaksi riba hakikatnya mengandung unsur kezaliman pada pihak lain. Lalu mengapa pinjol menjadi favorit bagi masyarakat? Bila ditelusuri dengan cermat, ada beberapa faktor penyebab pinjol memasyarakat, serta menjadi salah satu tumpuan solusi ekonomi oleh sebagian warga.

Pertama, lemahnya ekonomi masyarakat. Berdasarkan data BPS 2019, jumlah penduduk rentan berpendapatan per kapita Rp25 ribu mencapai 52,8%. Sementara, menurut laporan Bank Dunia pada 2020, total kelompok miskin, rentan, dan menuju menengah mencapai 78,3%. Untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti makan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, masyarakat menilai pinjol itu solusi. Prinsipnya “gali lubang tutup lubang”. Bukan perkara yang aneh lagi bila seorang warga terlibat dalam belasan perusahaan pinjol.

Kedua, pola hidup konsumtif masyarakat menjadikan Indonesia pasar seksi untuk dana dari luar masuk ke Indonesia, salah satunya penyedia pinjol ilegal. Hal ini sebagaimana tutur Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia, Ronald Y. Wijaya (16/10/2021).

Berdasarkan data OJK, sejak 2018 sebanyak 3.516 situs pinjol ilegal telah terblokir. Nyatanya, total pinjol resmi yang terdaftar di OJK hanya seratusan. Perusahaan pinjol tidak tertarik mendapatkan legalitas karena permintaan masyarakat terhadap pinjol ilegal makin meluas meskipun dengan bunga mencekik. Alhasil, mekanisme pasar berlaku. 

Ketiga, adanya legalitas lembaga keuangan riba. Pemerintah memang memfasilitasi lembaga seperti perbankan, koperasi, dan PNM beroperasi dengan bunga rendah. Namun, pinjol ilegal tentu masih lebih mudah dan cepat dalam mencairkan dana. Bagi masyarakat yang telanjur oportunis dan pragmatis, tanpa pemahaman haramnya riba, tentu pinjol ilegal lebih menarik, negara toh sudah menghalalkan yang haram. Lebih dari itu, pinjol ilegal memberikan tawaran promosi yang menggiurkan. 

Fakta lain, perusahaan pinjol legal yang berizin resmi juga memiliki cabang perusahaan pinjol ilegal demi perpanjangan rantai profit yang berlipat. Jadi, selama faktor penyebab tetap ada, moratorium izin pinjol hanya akan memindah atau mengaburkan masalah, sehingga tidak akan mampu menghapus praktek ribawi ini.

Bila merujuk kepada Islam, syariat tegas mengharamkan riba dan mengancam pelakunya dengan sanksi berat. "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (TQS Al-Baqarah: 275).

Negara bertanggung jawab memberikan pendidikan dan edukasi kepada masyarakat, serta membangun kesadaran kolektif akan keharaman riba dan bahayanya bagi kehidupan. Pintu kebodohan masyarakat terhadap syariat tentang riba mesti tertutup rapat. Demikian juga segala akses menuju riba. Sistem perbankan dan lembaga finansial lain yang bertentangan dengan syariat tidak boleh tumbuh dan berkembang di wilayah negara Islam, baik didirikan warga negara Islam maupun asing. Sebagai negara yang berdaulat penuh, negara penerap syariat kafah tidak boleh tunduk terhadap dikte ekonomi dan politik negara lain. 

Adapun jika masyarakat membutuhkan dana untuk kegiatan produktif, akan ada Baitulmal yang memiliki pos kepemilikan daulah untuk memberikan pinjaman tanpa riba. Bahkan
Islam memberlakukan sistem yang akan melahirkan pribadi yang tak gampang tergiur tawaran pinjaman ribawi, menyejahterakan rakyat dan menutup pintu transaksi dan lembaga keuangan yang bertentangan dengan hukum syara.

Wallahu alam bish-sawab


*(Menulis Asyik Cilacap)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak