Oleh : Imroatus Sholeha (Pemerhati Masalah Umat)
Kondisi Covid - 19 di Indonesia kini diklaim sudah lebih baik dari negeri lain. Untuk itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta petinggi negara sahabat untuk menghapus Indonesia dari daftar merah perjalanan. (CNBC Indonesia)
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan dalam pertemuan tinggi di Sidang Majelis Umum PBB ke 76 di New York, Jumat (24/9/2021) malam waktu AS, IA sudah melakukan pembahasan isu dengan 18 negara membahas beberapa isu. Salah satunya terkait penanganan Covid-19.
Dia mengatakan situasi Covid - 19 di Indonesia sudah semakin membaik karena berbagai upaya yang dilakukan pemerintah. Baik berupa vaksinasi maupun aturan terkait protokol kesehatan.Sehingga positivity rate di Indonesia jauh lebih baik yang berada di bawah rata-rata 2%. Ini di bawah standar WHO sebesar 5%, dimana sebelumnya sempat mencapai titik 31%.
Retno mengatakan terhadap beberapa negara yang masih menerapkan red listatau daftar merah larangan masuk bagi WNI, untuk segera dicabut. Dia mencontohkan seperti Perancis yang sudah mengeluarkan Indonesia dari red list."Secara khusus, terhadap beberapa negara yang masih menerapkan red list, saya minta agar situasi di Indonesia saat ini dapat dipertimbangkan untuk mengubah status red list tersebut," jelasnya.(CNBC Indonesia)
Langkah ini diambil guna membuka kembali pariwisata bagi turis internasional yang akan dilakukan pertengahan Oktober mendatang. Untuk diketahui pencabutan daftar merah Indonesia disampaikan kepada Komisaris Tinggi UNHCR, Sekjen Liga Arab, CEO US ASEAN Business Council, Menlu Sri Lanka, Menlu Jepang, Presiden Palau, Menlu Mozambik, Menteri Negara Luar Negeri Inggris, Lord Ahmad of Wimbledon. Lalu Menlu Pakistan, Menlu Serbia, Menlu Iran, Sekjen PBB, PM Belanda, Menlu Perancis, US Under Secretary for Political Affairs, Menlu Mauritania, Menlu Thailand, Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, Duta Besar Zalmay Khalilzad.
Meski terdapat tren penurunan kasus, tetapi tak sedikit yang memperingatkan agar masyarakat tetap waspada. Peluang terjadinya ledakan kasus baru yang disebut sebagai ancaman gelombang ketiga Covid-19 nyatanya mengancam di depan mata. Dalam keterangan tertulisnya, ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, sempat mengingatkan agar masyarakat tetap berhati-hati dalam menanggapi penurunan kasus Covid-19. Apalagi program vaksinasi belum mencapai 50% penduduk Indonesia. Selain itu menurutnya, protokol kesehatan dalam satu kegiatan bukan sebuahjaminan.
Protokol kesehatan akan berfungsi efektif ketika data-data atau indikator tracing, testing, dan treatment (3T) memang sudah kuat. Senada dengan Dicky, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban pun mengingatkan, pandemi Covid-19 di Indonesia sangat fluktuatif dan dinamis, sehingga kebijakan pelonggaran bisa mengakibatkan kasus Covid-19 lebih banyak dan malah terjadi hiperendemi.
Sebagai contoh munculnya kluster sekolah akibat dibukanya kembali pembelajaran tatap muka (PTM). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menemukan 1.000 lebih sekolah yang menjadi klaster penularan Covid-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Berdasarkan data dari survei internal Kemendikbudristek yang dipublikasikan pada laman “kemdikbud.go.id”. per Kamis, 23 September 2021, tercatat ada 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 atau 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei. Dari angka tersebut, tercatat ada 7.287 guru dan 15.456 siswa terpapar virus corona. (Liputan6.com, Jakarta)
Jika ruang gerak skala nasional saja masih belum aman. Bagaimana dengan permintaan pemerintah agar pintu antar negara kembali dibuka? Kita tentu tidak ingin keputusan yang tergesa-gesa ini akan kembali membawa kemudaratan. Betul bahwa negara harus segera melakukan pemulihan ekonomi, namun kurang pas jika kebijakan yang diambil beresiko membahayakan rakyat. Karena pemulihan ekonomi hanya bisa berjalan optimal jika persoalan pandemi bisa terselesaikan. Jadi pemerintah harus lebih maksimal dalam penanganan pandemi agar segera berakhir
Pemerintah memang mengandalkan pemasukan dari pariwisata. Kemenparekraf mencatat, sektor ini berpotensi membuka lapangan kerja bagi 13 juta orang. Pemerintah mengklaim pariwisata sebagai primadona pertumbuhan ekonomi karena mampu mencetak lapangan kerja untuk semua umur, berbagai jenis keterampilan, dan untuk bidang apa saja. Jokowi pun menetapkan pariwisata sebagai sektor unggulan pembangunan nasional. Mengingat SDA telah dikuasai asing dan aseng, sehingga pertumbuhan ekonomi yang “memandirikan rakyat” bergantung pada bisnis pesona alam (pariwisata).
Tetapi, membuka sektor pariwisata di tengah kodisi pandemi belum usai sangat berbahaya. Namun, disisi lain ada rakyat yang menggantungkan hidup dari sektor ini. Kondisi serba dilema ini mengkonfirmasi betapa buruknya sistem yang diterapkan. Dan untuk berlepas diri dari segala persoalan kehidupan yang carut marut hari ini kita perlu sistem yang terbaik dan struktural dan ini ada pada islam.
Indonesia adalah negeri yang kaya akan SDA, Tapi sayang pengelolaannya tidak tepat. Hingga saat ini asing dan aseng menguasai SDA bukti kegagalan mengurus rakyat dan negara. Dengan demikian, rakyat harus segera sadar, kita butuh sistem baru yan sempurna dan paripurna (islam). Dengan terus berupaya menyadarkan pemerintah untuk mengurus negara termasuk SDA dengan baik sesuai petunjuk Islam.
Sistem ekonomi dan keuangan islam akan menjamin kesejahteraan rakyat. Karena dalam Islam sumber daya alam merupakan milik umum yang wajib dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyatnya. Sungguh, betapa besar sumber-sumber pemasukan kas negara, sehinga berbagai hal yang kini menjadi persoalan akan mudah diselesaikan. Dengan begitu negara akan punya kemampuan memadai untuk mengembangkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan, seperti vaksin,obat-obatan,dan lainya. Begitu juga dengan pelaksnaan sistem Islam lainnya, semuanya akan mendukung negara dalam meri'ayah umat.
Terbukti umat islam berjaya selama belasan abad dengan menerapkan aturan islam. Sehingga umat islam menjadi bangsa yang kuat dan mandiri, tak pernah umat Islam dihadapkan pada kondisi serba dilema seperti hari ini. Bahkan umat Islam justru menjadi teladan kebaikan dan menjadi tempat bergantung bangsa-bangsa luar saat mereka menghadapi masa sulit. Seperti yang dialami penduduk Amerika pada 1889 saat salah satu wilayahnya dilanda banjir, dan pada 1894 ketika dilanda kebakaran Kekhalifahan Utsmaniyah memberikan bantuan dan uang dalam jumlah yang sangat besar.
Begitu pula dengan penduduk Kristen Irlandia. Hingga hari ini mereka bahkan terus mengenang kemurahan hati khalifah Abdul Majid dari Khilafah Utsmaniyah pada saat mereka dilanda kelaparan, khalifah abdul majid mengirimkan bantuan yang mengalahkan Inggris sebagai induk semangnya. Pada 1995, Wali Kota Alderman Godfrey dan Duta Besar Turki Irlandia, Taner Baytok, pernah meresmikan sebuah bangunan di Drogheda. Padanya tertempel plakat yang berbunyi, “The Great Irish Famine 1847—dibangun untuk mengenang dan mengakui kemurahan hati rakyat Turki terhadap Irlandia.”
Sudah selayaknya kita menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara agar menjadi bangsa yang kuat dan berwibawa seperti yang terjadi pada umat islam dulu. Sehingga tak perlu menggantungkan diri pada bangsa asing sebagaimana terjadi pada hari ini. “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110). Wallahuaalam.