Penanganan Pandemi Kalah oleh Kontestasi Demi Kursi




Oleh : Eti Fairuzita*


Analis politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, berharap Partai Demokrat dan PKS tetap konsisten di pihak oposisi bila PAN betul merapat ke koalisi pemerintah.
Pangi menyebut negara tanpa ada kekuatan oposisi tidaklah baik.

"Sudah 82 persen koalisi pendukung presiden berkuasa, tinggal PKS dan Demokrat, semoga konsisten tidak jadi tukang stempel dan mengamini semua kebijakan pemerintah," ungkap Pangi saat dihubungi Tribunnews, Sabtu (28/8/2021).

"Demokrasi tanpa oposisi, pemerintah tanpa oposisi adalah pemerintahan masturbasi, keenakan dan asyik sendiri," tambahnya.

Pangi menyebut jalannya kepemimpinan idealnya memiliki kekuatan koalisi dan oposisi yang berimbang.
"Jika presiden hanya didukung kekuatan minoritas parlemen cenderung membuka peluang pemakzulan bagi presiden."
"Apabila presiden didukung kekuatan mayoritas mutlak di parlemen maka yang cenderung terjadi adalah pemerintahan yang kolutif dan koruptif," ungkap Pangi.

Sementara itu mengenai merapatnya PAN ke pemerintahan Jokowi, Pangi memrediksi PAN akan mendapat satu atau dua kursi menteri.
Artinya, Pangi menilai kemungkinan reshuffle akan terjadi di tubuh kabinet setelah PAN merapat.

https://www.tribunnews.com/nasional/2021/08/28/pan-merapat-ke-pemerintah-pengamat-semoga-pks-dan-demokrat-konsisten-oposisi

Merapatnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke koalisi pemerintahan Jokowi membuat partai oposisi semakin berkurang. Tentu saja ada kekhawatiran lenyapnya kekuatan oposisi sebagai kekuatan penyeimbang atau check and balances dalam politik demokrasi. Hal ini lantaran jumlah partai koalisi saat ini yang menguasai parlemen mencapai 82 persen dan hanya tersisa Demokrat dan PKS.

Fenomena koalisi menjadi oposisi atau oposisi masuk koalisi sebenarnya sudah biasa dalam politik demokrasi. Sebab, politik demokrasi memang berasaskan manfaat dan kepentingan. Rakyat hanya dibutuhkan saat merebut kompetisi pemilu, selebihnya peran dan suara rakyat diabaikan. Alhasil suara oposisi menjadi tidak berguna.

Bahkan Direktur Executif Indonesia Publik Institute, Karyono Wibowo pernah mengatakan bahwa istilah oposisi tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia, tak heran jika peran partai Demokrat, PKS, dan PAN selama pemerintahan Jokowi pun kurang menonjol dalam melakukan kritik pada kebijakan penguasa dan membela kepentingan rakyat bahkan sekarang kian melemah setelah PAN gabung ke koalisi pemerintah.

Ditambah lagi, partai politik di bawah sistem politik demokrasi hanya akan berjalan di bawah prinsip politik transaksional sehingga sudah fitrah bawaan politik demokrasi selalu berputar pada pembahasan koalisi, jatah kursi, kontestasi, dan kepentingan yang ingin diraih. Maka tak heran jika partai oposisi sekalipun akan fokus untuk mengamankan kursi dalam kekuasaan.

Padahal di saat yang sama publik membutuhkan kebijakan yang bisa membuat hidup mereka lebih baik.
Namun pejabat dan politisi negeri ini seakan hilang empati, bukannya fokus menangani pandemi dengan benar mereka malah ribut berebut posisi, mereka sibuk berdiskusi koalisi atau oposisi, dan membiarkan rakyat berjuang sendiri menghadapi pandemi. Namun inilah gambaran partai politik produk sistem kapitalisme sekuler demokrasi.

Berbeda dengan partai politik di bawah sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.
Partai politik berdiri bukan hanya untuk memuaskan nafsu berkuasa dan mengamankan kursi kekuasaan. Lebih dari itu, partai politik memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat. Yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar, yakni politik yang bermakna mengurus urusan rakyat. Tujuan berdirinya partai politik tidak lain adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus bukan sekedar sebagai wadah menampung aspirasi dan suara rakyat.

Telah banyak berdiri organisasi atau partai politik di negeri ini, baik yang bercorak nasionalis maupun Islam, sayangnya partai-partai itu telah gagal membangkitkan kesadaran politik yang sesuai dengan tuntunan Islam. Dimana hal ini bisa kita kaji dari dua aspek, pertama : yaitu pemikiran dan tujuan yang menyatukan partai, apakah pemikiran itu shahih atau keliru.
Kedua, keorganisasianya yaitu asas yang membangun terbentuknya partai.

Dimana partai politik yang benar dibangun atas empat asas.
1. Pemikiran (fikrah) yang menentukan tujuan serta yang menjadi asas untuk menyatukan masyarakat dengan partai.
2. Metode (thariqah) yang ditempuh partai untuk meraih tujuannya.
3. Anggota-anggota partai serta sejauh mana keyakinan mereka terhadap pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) partainya.
4. Cara untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut.

Partai politik yang benar adalah partai yang menyandarkan fikrah dan thariqahnya pada asas yang benar. Jika asasnya salah, maka bisa dipastikan arah gerakan partai tersebut juga salah. Jika melihat standar benar dan salah, maka asas partai yang shahih haruslah berasaskan Islam bukan yang lain. 

Jika fikrah dan thariqah partai berasaskan akidah Islam, maka orang-orang yang bergerak dalam partai tersebut haruslah memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Ikatan yang mengikat mereka harus berbasis pada Islam bukan sekedar ikatan organisasi apalagi kepentingan.
Maka jika partai dibangun di atas basis ideologi yang benar yaitu Islam, mereka akan menempuh dan meraih tujuannya berdasarkan asas tersebut.

Di sinilah peran penting partai politik shahih hadir di tengah umat, yaitu untuk membina dan mendidik pemikiran umat dengan Islam, mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa. Itulah cara kerja partai politik yang diajarkan dalam Islam.

Dalam Islam, berpolitik direalisasikan dalam aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, tugas partai politik Islam yang shahih adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan mewujudkan kebangkitan pemikiran Islam di tengah umat serta menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Waalahu alam bish-sawab

*(Menulis Asyik Cilacap)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak