Pernyataan Presiden RI menyebutkan pembangunan ibu kota baru akan tetap berjalan, bahkan saat ini sudah pada tahap pembangunan infrastruktur. Dia mengatakan bahwa keberadaan infrastruktur adalah hal yang sangat penting untuk kebutuhan logistik sebelum ibu kota negara (IKN) berdiri. (Tribunnews.com, 27/9
Oleh : Tri S,S.Si
Kesungguhan Presiden memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur bukanlah tugas mudah. Perlu perencanaan matang dan mendalam karena akan berpengaruh pada kedaulatan negara. Di samping membutuhkan biaya besar, waktu yang panjang, juga perlu konsentrasi terhadap nasib masyarakat pasca ibu kota beralih. Terutama wabah Covid-19 yang berdampak pada masalah ekonomi, sosial, politik, hukum, keamanan, dll. telah membawa dilema dan masalah yang cukup pelik, bahkan akan sangat sulit jika diurai satu persatu. (Tribunnews, 27/09/2021).
Kabarnya, pemindahan ibu kota ke Kaltim adalah langkah yang ditempuh pemerintah untuk mencari lokasi strategis, mengingat Jakarta sudah tak lagi kondusif untuk dipertahankan. Beban Jakarta dengan segudang masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan seakan begitu berat hingga tak mungkin lagi menanggungnya. Salah satunya masalah banjir yang kerap melanda ibu kota tiap musim penghujan. Haruskah pemerintah hengkang dari Jakarta dengan meninggalkan masalah ini?
Harapan rakyat Indonesia, Jakarta khususnya adalah ketegasan pemerintah mengatasi masalah mereka. Karena sebenarnya masalah tersebut datang dari pemerintah sendiri dengan kebijakan tidak pro rakyat. Kebebasan pembangunan dengan alih fungsi lahan telah menyulap Jakarta menjadi pusat bisnis dan kehidupan materialistis. Baik di darat atau di laut. Area darat dipenuhi gedung perkantoran, mall, apartemen, hotel, tempat hiburan, pabrik, dll. Sementara di laut, proyek Reklamasi dibiarkan pemerintah demi kepuasan cukong dan konglomerat. Nelayan kehilangan mata pencaharian, area pemukiman warga semakin menyempit, bencana alam tinggal menunggu waktu.
Apa yang menimpa Jakarta tentunya akan dialami pula oleh wilayah lainnya, termasuk Kalimantan Timur dan sekitarnya. Apa yang dilakukan pemerintah di Jakarta akan dipraktikkan juga di daerah lain, di pelosok tanah air. Pasalnya, sistem dan mekanismenya lahir dari rahim yang sama yakni kapitalisme sekuler. Oleh karena itu pemerintah tidak akan memiliki kemampuan mengatasi masalah di mana pun ibu kota berada. Negara yang mengadopsi paham ini hanya mampu memfokuskan pembangunan untuk keuntungan materi, tanpa mengindahkan arahan syara' apalagi untuk kemaslahatan masyarakat. Indonesia pun tidak memiliki kebebasan dan kemandirian membangun negaranya sesuai kepentingan rakyat. Pada akhirnya, kondisi ini menguntungkan penjajah asing mencengkeram Indonesia dengan segudang intervensinya. Dari RUU hingga per-undang-undangan untuk realisasi mengeruk kekayaan Indonesia tanpa henti.
Begitulah kondisi negeri yang tak memiliki kemandirian. Nasib rakyat berada di ujung tanduk karena kekayaan alam dikuasai, stabilitas ekonomi, sosial, politik dan keamanan terus terpuruk. Penguasa ada di bawah kendali asing yang setiap saat meminta dipenuhi kehendaknya, sedangkan nasib rakyat terabaikan dan terlupakan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemindahan ibu kota negara bukanlah hal yang asing dilakukan. Pemimpin dalam sistem ini layak mencari tempat sebagai pusat negara jika kondisi mengharuskan demikian, karena kondisi politik atau keamanan. Contohnya masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra. setelah dibaiat menggantikan khalifah sebelumnya yakni Utsman bin Affan ra.
Kondisi perpolitikan Madinah sebagai ibu kota negara Islam pada saat itu dipenuhi kemarahan dan peperangan akibat terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan ra. sehingga keamanan serta kenyamanan riayah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. menghadapi kendala. Kemudian dipilihlah Kuffah sebagai ibu kota negara menggantikan Madinah.
Selanjutnya masa kekhalifahan Umayyah. Pemerintahannya berpusat di Damaskus, dan pada saat itu kekuasaan Islam telah menyebar luas hingga Benua Eropa. Setelah masa kepemimpinan Umayyah yang berakhir pada 750 M, Bani Abbasiyah resmi memimpin umat Islam. Perubahan pertama yang dilakukan kekhilafahan Abbasiyah adalah memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Baghdad, Irak, pada 762 M. Alasan pemindahan ibu kota ini karena kedekatan lokasi Baghdad dengan Iran yang merupakan basis pendukung Khilafah Abbasiyah. Terutama lokasi strategisnya yang berada di tepi Sungai Tigris yang subur dan terletak pada jalur perdagangan penting.
Namun, ada hal berbeda perpindahan yang dilakukan pemimpin era kekhilafahan dan era demokrasi kapitalisme saat ini. Dalam sistem pemerintahan Islam, berpindahnya ibu kota dilatarbelakangi alasan politik Ri'ayah as Syu-unil Ummah (mengurus dan mengatur urusan umat), bukan karena dorongan kelompok ataupun intervensi asing yang mencari keuntungan ekonomi di lokasi baru, demi kesejahteraan pribadi dan kelompoknya.
Dalam pemerintahan Islam, dipilihnya lokasi strategis ataupun lebih dekat dengan pendukungnya adalah semata untuk kemaslahatan publik. Di samping menguntungkan secara ekonomi, politik dan juga keamanan negara. Dari sini, negara bisa menghimpun kekuatan untuk dakwah dan jihad, futuhat (membebaskan negeri kufur), serta menjaga kedaulatan negara juga memberikan kenyamanan warga negara dari ancaman yang datang dari dalam atau luar negara.
Pemimpin dalam negara Islam yang dikenal dengan Khalifah, adalah pemimpin tunggal untuk seluruh kaum muslim di dunia. Ia memiliki tanggung jawab yang sangat besar mengurusi urusan umat. Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan dilarang untuk berkhianat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh sabda Rasulullah saw. tentang fungsi pemimpin sebagai raa'in dan Junnah (perisai).
"Al-Imam itu adalah pengurus rakyat (raa'in) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)
"Sesungguhnya Imam (pemimpin) itu perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya) nya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kedudukan serta pentingnya keberadaan pemimpin menurut hadis di atas tidak terbatas dalam peperangan semata, tapi bagaimana seorang pemimpin itu bisa menjalankan maksud-maksud syariat agar keamanan serta kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh masyarakat, seperti penjagaan akidah/agama, penjagaan jiwa, keturunan, harta, akal serta penjagaan negara. Inilah tanggung jawab yang mestinya dimiliki seorang pemimpin negara. Kebijakannya, arahannya, serta nasehatnya adalah wujud tuntutan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang berada di bawah tanggung jawabnya.