Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial dan Keluarga)
Pandemi covid 19 belum benar-benar berakhir, namun pemerintah pusat menegaskan bahwa proses pembangunan ibu kota negara yang baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur akan tetap berjalan. Begitu juga konfirmasi dari menteri perencanaan pembangunan nasional, kepala bappenas, Suharso Monoarfa. Ia mengungkapkan bahwa target pemindahan ibu kota tetap akan terlaksana pada tahun 2024. Proyek pembangunan tersebut bahkan telah sampai pada tahap land development dan persiapan penataan kota, seperti penanaman bibit pohon hingga mempersiapkan aksesibilitas jalan menuju titik IKN. (www.tempo.co, 3/9/2021)
Suharso menambahkan, berdasar master plan bappenas, pembangunan ibu kota baru di Penajam Paser Utara diperkirakan akan memakan waktu selama 15-20 tahun, dengan target pembangunan ibu kota tahun 2024. Diketahui proyek ini diperkirakan akan memakan biaya sekitar Rp. 500 Triliun, yang pembiayaannya akan dilakukan melalui skema APBN, kerjasama pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), melalui pihak swasta sebesar 80%. Dari skema ini, nampak jelas swasta diberi ruang yg begitu lebar untuk campur tangan dalam pembangunan.
Melihat geliat pemerintah seperti ini, peneliti ekonomi dari institute for development of economics and finance (INDEF), Esther Sri Astuti Suryaningrum menyebut proyek pembangunan ibu kota negara baru tidak urgen. Menurutnya, pemulihan ekonomi bisa dilakukan dengan cara lain, seperti pemerataan ekonomi di berbagai daerah dan tak harus dengan memindahkan ibu kota. (www.alenia.id, 7/9/2021)
Beberapa fraksi di DPR memiliki pendapat yang senada, yaitu biaya tersebut harusnya di fokuskan untuk penanganan pandemi covid 19 dan pemulihan ekonomi warga. Tak sedikit tanggapan mengenai wacana pemindahan ibu kota baru terkesan terburu-buru dan dipaksakan oleh pemerintah pusat. Pertama kali wacana pemindahan Ibu Kota Baru (IKB) mencuat, pemerintah mengklaim pembiayaan tidak akan berasal dari utang. Dilansir kontan.co.id, selasa tanggal 10 September 2021 Skema pembiayaannya berasal dari APBN Rp. 89,4 triliun (19,2%), kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sebesar Rp. 253,4 triliun (54,4%) dan swasta Rp. 123,3 triliun (26,4%).
Namun menggantungkan dana pada swasta pun bukannya tak memiliki resiko. Ancamannya akan terlihat pada aset-aset strategis negeri yang dengan mudah akan berpindah tangan pada swasta sebagai tumbal atas pembiayaan yang telah dikeluarkan. Memulihkan ekonomi dengan investasi bukanlah jalan yang tepat terlebih dalam sistem kapitalisme, kerjasama dengan swasta akan membuka peluang investasi pada pemilik modal. Dengan modal yang mereka miliki investor mudah saja mendikte pemerintah.
Syeikh Abdul Qodir Zallum, dalam kitab Daulah al Khilafah, menjelaskan mengenai peminjaman dari negara lain atau global merupakan strategi yang keliru dan tidak dibenarkan syariat. Terlebih ini jalan penjajah untuk menguatkan hegemoni mereka. Mengenai proteksi kepemilikan umum seperti minyak, gas, tambang. Khilafah bisa menetapkan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu serti posfat, emas, tembaga, dan sejenisnya. Pengeluarannya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, strategi ini bisa di tempuh pemerintah. Kebijakan ini juga merupakan kebijakan yang tepat, untuk memenuhi kebutuhan dana untuk infrastruktur.
Adapun menarik pajak dari kaum muslim, ini bisa dilakukan jika baitul mal kosong. Itu pun hanya di gunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital dan hanya diambil dari kaum muslim, laki-laki dan mampu. Islam sangat memperhatikan aspek kemandirian dan tidak menggantungkan pembiayaan pembangunan dari hasil pinjaman. Terlebih saat berbicara tentang pembangunan ibu kota yang erat kaitannya dengan eksistensi negara.
Ibu kota adalah simbol dari kekuatan negara, diluar kesan tergesa-gesa nya pemerintah memindahkan ibu kota negara, harapan pemulihan ekonomi dengan menggaet swasta masuk sebagai pemain, bukanlah jalan keluar. Langkah ini justru menunjukan pemerintah mandul menjalankan perannya, sebagai pengurus rakyat. Wallahu a’lam bi ash showab.