Oleh : Rindoe Arrayah
Banyak perubahan yang harus dilakukan oleh masyarakat semenjak pandemi melanda, yaitu dengan cara menyesuaikan situasi dan kondisi. Termasuk dalam hal pembelajaran. Tanpa terasa sudah lebih dari satu setengan tahun lamanya pandemi terjadi.
Untuk memutus rantai penularan, pembelajaran saat ini dilakukan secara daring. Namun, dari hasil evaluasi didapatkan bahwa pembelajaran daring tidak seefektif luring. Selain kendala sarana dan prasarana, seperti ketersediaan perangkat dan jaringan internet aktif, ternyata pembelajaran daring juga memberi dampak psikologis besar terhadap orang tua, peserta didik, dan guru.
Tidak bisa dimungkiri, kejenuhan belajar yang dirasakan peserta didik berpadu dengan ketidaksiapan orang tua dalam mendampingi belajar di rumah. Kondisi ini menyebabkan banyak orang tua siswa yang menyerah dan menuntut segera diadakan PTM (Pembelajaran Tatap Muka). Lebih dari itu, pembelajaran daring memang menyuguhkan tantangan besar yang berpengaruh pada ketidakefektifan proses belajar-mengajar. Di antaranya adalah tidak adanya jaminan bahwa siswa akan selalu memerhatikan guru saat pembelajaran berlangsung, sehingga sulit mengetahui apakah siswa sudah paham atau belum dengan materi pelajaran yang sedang dibahas.
Hal ini tentu sangat beebeda dengan PTM, di mana guru dengan mudah bisa melihat dan mengamati secara langsung siswa saat proses pembelajaran. Sehingga, ketercapaian tujuan pembelajaran bisa diupayakan. Faktanya, belajar dalam pengawasan langsung saja kadang ada siswa yang tidak memerhatikan. Apalagi, jika belajar daring.
Terlebih lagi, dalam pembelajaran daring, interaksi guru dan siswa sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga transfer of value dan transfer of knowledge mungkin agak terbatas. Kurang maksimalnya interaksi guru dan siswa membuat tujuan pembelajaran sulit tercapai, sehingga butuh pihak ketiga untuk mengisi celah kurang maksimalnya pemahaman siswa terhadap pembelajaran. Celah tersebut tidak bisa diisi oleh semua orang tua yang mendampingi. Maka, dengan berbagai pertimbangan di atas, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggelar pembelajaran tatap muka secara terbatas, dengan syarat-syarat ketat yang harus dipatuhi oleh berbagai pihak. Sayangnya, seminggu setelah PTM digelar, ditemukan fakta adanya klaster penularan sekolah.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, ada 1.303 sekolah menjadi klaster COVID-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas (Detik.com, 24/9/2021). Menanggapi hal ini, Dirjen PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Jumeri mengatakan, Kemendikbudristek bersama Kementerian Kesehatan masih mengupayakan aktivitas PTM terbatas yang aman. Mengingat bahwa pembelajaran daring berkepanjangan dapat berdampak negatif yaitu bisa menyebabkan anak-anak Indonesia sulit mengejar ketertinggalan.
Tidak jauh berbeda, Mendikbudristek Nadiem Makarim juga mengatakan bahwa sekolah tatap muka tidak akan diberhentikan. Ia menambahkan, hanya sekolah yang menjadi klaster Covid-19 saja yang ditutup hingga kembali aman untuk PTM terbatas.
Bagaimanapun tidak bisa dimungkiri, keadaan pemerintah saat ini bagai makan buah simalakama. Pilihan melaksanakan pembelajaran secara daring maupun luring, keduanya mengandung konsekuensi yang tidak mudah. Namun seharusnya disadari, bahwa keduanya butuh dukungan penuh dari pemerintah selaku otoritas yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan seluruh warga negaranya.
Pelaksanaan PTM terbatas harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk menutup celah penularan. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen), Jumeri mengatakan dinas-dinas pendidikan di daerah perlu memastikan kesiapan sekolah. Sekolah juga wajib membangun kesadaran bersama antara keluarga dengan sekolah. Memberi pemahaman pada orang tua peserta didik karena mereka punya peran penting dalam pembelajaran tatap muka terbatas.
Oleh karena itu, para pengelola sekolah diminta untuk mengoptimalkan penggunaan ruang di fasilitas pendidikan. Misalnya, membuka opsi penggunaan ruang terbuka untuk tempat pembelajaran tatap muka. Strategi ini dianggap bisa meminimalisir risiko penularan Covid-19. Langkah yang tidak kalah penting ialah menghidupkan budaya bersih dan sehat di kalangan warga sekolah. Dengan begitu, diharapkan kepatuhan pada protokol kesehatan, seperti memakai masker dan rajin mencuci tangan, terwujud di sekolah.
Hingga saat ini, pemerintah hanya bertindak setengah hati dengan menyerahkan keputusan keterlibatan anak didik (mau daring atau luring) kepada orang tua masing-masing. Tampak disini bahwa pemerintah tidak mau disalahkan bila terjadi kluster penularan, namun juga tidak ingin tertekan dengan tuntutan sebagian masyarakat untuk PTM. Seharusnya, pemerintah turun tangan secara langsung, tidak mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak sekolah dan orang tua semata. Negara harus memastikan kesiapan seluruh sekolah. Tidak ada pembedaan satu dengan yang lain, karena pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa terkecuali. Apabila diputuskan melakukan PTM, maka pemerintah juga wajib menyiapkan seluruh perangkat pendukungnya.
Keseluruhan dana dari semua langkah yang dilakukan itu ditanggung oleh negara. Bisa diambil dari pos kepemilikan negara maupun pos kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Bahkan bila perlu, negara bisa mengalihkan anggaran belanja yang tidak penting seperti pemindahan ibukota. Dengan demikian, penyiapan generasi masa depan bisa berjalan optimal tanpa mengorbankan kesehatan.
Memang tidak bisa dielakkan, manakala sistem kehidupan saat ini berlandaskan Kapitalisme-Sekularisme yang telah nyata kerusakannya dari sejak awal kemunculannya. Untuk itu, sudah saatnya mengganti sistem yang rusak ini dengan sebuah sistem yang lebih mumpuni, yaitu sistem kehidupan yang berlandaskan syari’at Islam.
Wallahu a’lam bishshowab.