Oleh : Eti Fairuzita*
Penurunan kasus Covid-19 di Indonesia memberi lampu hijau untuk dunia maskapai penerbangan tanah air.
Pebisnis maskapai penerbangan mendapatkan sinyal dari pemerintah akan mengizinkan maskapai mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen.
Pertimbangan lain yang wajib bagi penumpang dengan pemberlakuan syarat tes polymerase chain reaction (PCR).
Pemerintah akan mengizinkan pesawat mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen seiring pemberlakuan syarat tes polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat.
Hal ini dibenarkan oleh Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati.
"Betul (pesawat boleh mengangkut penumpang dengan kapasitas 100 persen)," kata Adita ketika dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (21/10/2021).
Adita mengatakan, aturan baru ini akan dituangkan secara lebih terperinci dalam surat edaran (SE) dari pemerintah.
Ia mengatakan, Kemenhub dan Satgas Covid-19 juga akan memberikan pernyataan resmi pada siang hari ini terkait kebijakan baru tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/21/09395621/pcr-jadi-syarat-naik-pesawat-maskapai-akan-diizinkan-tambah-kapasitas-hingga
Sontak kebijakan ini pun menuai protes karena dinilai berpotensi akan lebih menyusahkan masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh :
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Taqwaddin Husin mengkritik kebijakan wajib tes PCR (Polymerase Chain Reaction) kepada calon penumpang pesawat udara. Aturan ini dinilai memberatkan masyarakat.
“Kebijakan ini menyusahkan dan memberatkan rakyat, apalagi bagi orang daerah yang perlu ke Ibu Kota provinsi atau ke Ibu Kota negara Jakarta,” kata Taqwaddin Husin di Meulaboh seperti dilansir dari Antara, Minggu 24 Oktober 2021.
Ia mengatakan kewajiban tes PCR 2x24 jam sebelum berangkat dinilai semakin memberatkan konsumen selaku pengguna jasa pesawat udara. Tentu saja, karena biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penumpang mencapai ratusan ribu rupiah.
Apabila tidak melakukan tes, maka masyarakat tidak boleh naik pesawat. Sedangkan biaya PCR, kata Taqwaddin Husin, masyarakat harus membayar dengan biaya mahal.
Bahkan, kata dia, ada rute pesawat yang biaya PCR sama dengan harga tiket pesawat.
Selain kartu vaksinasi minimal dosis pertama, dokumen hasil negatif tes reaksi berantai polimerase (PCR) menjadi syarat penerbangan. Kebijakan tersebut dinilai kontradiktif karena tujuan untuk menggeliatkan perekonomian, namun malah memberatkan masyarakat.
Mensyaratkan PCR agar moda transportasi udara bisa berkapasitas penuh adalah kebijakan yang menyusahkan masyarakat baik secara biaya maupun teknis hanya demi keuntungan maskapai dan penyedia jasa PCR (pengusaha).
Pertimbangan ini jelas bukan karena standar kesehatan, karena bila merujuk pada alasan kesehatan mengapa moda transportasi lain tidak diwajibkan?
Sangat nampak, negara menetapkan kebijakan ini dengan mengevaluasi lembaga tes agar tetap memberi pemasukan demi kepentingan bisnis.
Lagi-lagi keputusan pemerintah ini membuktikan negara selalu bertransaksi dan melakukan perhitungan secara ekonomi dengan rakyat, bukan bertindak sebagai penanggung jawab urusan rakyatnya dalam melayani setiap kebutuhan mereka.
Inilah watak asli negara kapitalistik, dalam negara kapitalis tidak ada pemberian jaminan pada rakyatnya.Tugas dan fungsi negara hanya sebagai wasit bukan pelayan rakyat, sementara jaminan yang diberikan tidak lain sebatas bentuk tambal sulam kebobrokan sistem kapitalisme semata. Di sisi lain, keberadaan negara hanya sebagai regulator yang mengatur terjadinya keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha. Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya, betapa menyedihkan kondisi rakyat dalam naungan negara kapitalis.
Sementara dalam Islam, kepala negara atau khalifah menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya.
Rasulullah Bersabda : "Imam atau Khalifah adalah raaiin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,"(HR. Bukhari).
Dan Islam telah menetapkan langkah strategis dalam menyikapi pandemi yaitu lockdown sebagaimana yang disabdakan rasulullah.
"Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya,"(HR. Muslim).
Sementara testing merupakan langkah strategis sebagai upaya memisahkan antara orang yang sakit dan yang sehat dan merupakan satu rangkaian penanganan pandemi yang semestinya bebas biaya.
"Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat,"(HR. Bukhari).
Khilafah akan membebaskan biaya testing dari seluruh masyarakat tanpa terkecuali, tanpa membedakan masyarakat kaya atau miskin. Bahkan khalifah akan menyelesaikan testing atas seluruh rakyat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dalam khilafah pelayanan kesehatan gratis menjadi tanggung jawab khalifah sebagai pelayan umat, sebab kesehatan merupakan kebutuhan dasar publik yang wajib dipenuhi negara. Fasilitas kesehatan dan unit-unit teknis lain yang dimiliki negara khilafah berfungsi sebagai perpanjangan fungsi negara artinya harus dikelola di atas prinsip pelayanan dengan pembiayaan dan pengelolaan langsung dari negara.
Dengan kata lain, sektor pelayanan kesehatan tidak dibenarkan menjadi lembaga bisnis bahkan haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan kesehatan termasuk biaya testing saat pandemi. Tentu semua ini didukung sistem ekonomi Islam
berbasis Baitul Mal yang memiliki kemampuan finansial memadai. Karena itu, inilah saatnya masyarakat menyadari bahwa tidak ada jalan lain bagi penyelesaian persoalan bangsa ini khususnya pandemi dengan berbagai masalah yang menyertainya kecuali dengan kembali ke pangkuan kehidupan Islam, yakni Khilafah.
Wallahu alam bish-sawab
*(Menulis Asyik Cilacap)
Tags
Opini