Para Ustadz Diserang, di Mana Peran Negara?

Oleh: Atik Hermawati


Masyarakat kembali dikejutkan dengan berita penyerangan terhadap seorang Ustadz. Dilansir dari Nasional.okezone.com (22/09/2021), seorang Ustadz di Bekasi bernama RM Jamiludin menjadi korban pembegalan dan pembacokan (21/9) pada pukul 3 dini hari, saat beliau hendak pulang. Korban menderita luka bacok di pinggang setelah sempat melakukan perlawanan terhadap para pelaku yang menodongkan celurit. Sementara motor korban dibawa kabur pelaku. 

Tak akan lupa dari benak kita, penusukan yang dialami Syekh Ali Jaber, pembunuhan Komandan Brigade PP Persatuan Islam (Persis) Prawoto, penganiayaan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, penusukan Imam Masjid Al-Falah Pekanbaru, dan lainnya. Bukan hanya para ustadz atau ulama yang diserang. Ajaran dan tempat ibadah umat Islam kerap kali dilecehkan. Kebanyakan pelaku dianggap gangguan jiwa bahkan berakhir tanpa bui. Sedangkan kasus teror jika pelakunya "kebetulan beragama Islam", isu terorisme digoreng berbulan-bulan menutupi isu kerakusan lingkaran oligarki.


Keamanan yang Diabaikan

Miris sekali, di negeri mayoritas muslim ini, pemerintah tidak bisa menjaga kemuliaan Islam dan para ulamanya. Tragedi kejahatan "orang gila" yang terencana begitu menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, sanksi tak sepadan dengan perbuatan yang horor tersebut. Selanjutnya menjadi kasus yang berulang. Wajar saja, jika masyarakat beranggapan semua ini ada dalangnya.

Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi asas negeri ini, telah meniscayakan Islam dipinggirkan. Pertama, berbagai sistem dalam kehidupan masyarakat tidak diatur syariah. Ajaran Islam yang komprehensif dianggap hal yang aneh bahkan radikal. Islamofobia dihembuskan dengan massif. Para ulama yang menyerukan dengan konsisten dibenci dan dimusuhi. Hingga kasus teror yang berujung pembunuhan.

Kedua, hukuman yang ada bukan berdasarkan uqubat dalam Islam. Sehingga hukuman yang berlaku tidak membuat efek jera. Hukum negara ini bisa dipermainkan, apalagi berpura-pura bahkan langsung dicap "gila". Kedengkian yang nyata telah mendorong pelaku untuk 'testing the water' terhadap umat muslim yang saat ini tidak punya 'penjaga agamanya.' Sebab negara ini berasas sekularisme bukan Islam.

Dengan demikian demokrasi tak mampu menjamin keamanan umat muslim dan kemuliaan ajarannya. Allah SWT hanya dianggap Pencipta yang harus dihadirkan dalam ranah privat saja. Namun aturan-Nya tidak diberi ruang pada ranah publik dan pemerintahan. Masyarakat diatur dengan aturan buatan manusia yang syarat akan kepentingan segelintir orang yang berkuasa di dalamnya. Islamofobia disuburkan untuk menyudutkan Islam dan pejuangnya.


Sistem Islam Menjaga Keamanan

Kedengkian kaum kafir terhadap Islam dan para rasul-Nya terjadi sejak dulu. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu" (QS. Al-An'am: 34). 

Walaupun demikian, Islam hadir untuk menyelamatkan manusia. Khilafah sebagai institusi yang berasaskan Islam akan sangat mudah menghentikan kriminalisasi Islam itu sendiri ataupun tindakan teror terhadap para ulama. Ulama memiliki peran penting dalam mendidik dan membina umat. 

Dalam Islam, penerapan hukum Islam memiliki tujuan yang terintegrasi untuk memelihara agama ( hifdzun diin); memelihara jiwa (hifdzun nafs); memelihara keturnan (hifdzun nasl); memelihara harta (hifdzul maal); dan memelihara akal (hifdzul aql). Jaminan keamanan bukan hanya untuk para ulama melainkan semua masyarakat. Dalam khilafah, urusan keamanan ditangani oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri. 

Keadilannya tanpa pandang bulu, sebagaimana terpatri dalam sejarah. Usamah bin Zaid memohon keringan hukuman wanita yang mencuri kepada Rasulullah, namun sikapnya ini ditanggapi Rasul seraya bersabda, “Apakah kamu mengajukan keringanan terhadap salah satu hukuman dari Allah? Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan ku potong tangannya” (HR Bukhari dan Muslim).

Sistem sanksi yang ada sebagai jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (pencegah hal serupa). Sistem sanksi dalam Islam terdiri dari empat macam, yaitu hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafat. Adapun terkait kasus pembunuhan, maka berlaku hukum jinayah yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Firman Allah Ta’ala, “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh” (QS Al Isra [17]: 33).

Di samping itu negara melakukan pembinaan ketakwaan terhadap masyarakat, sehingga amar makruf nahi munkar menjadi kegiatan sehari-hari. Ini semua tak mungkin dalam sistem yang berlaku saat ini. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak