Oleh: Tri Setiawati, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Perempuan dan Generasi)
Sungguh miris fakta yang terjadi akhir-akhir ini betapa tidak, pemerintah begitu semangat untuk menarik pajak, masyarakat yang memiliki NIK KTP bisa digunakan sebagai NPWP, hal ini berdasarkan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) oleh DPR RI di Sidang Paripurna, Kamis (7/10/2021). (kompas.com, 7/10/2021).
Sebelumnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga direncanakan berlaku di sektor pendidikan dan kebutuhan bahan pokok. Rencana tersebut berada dalam Revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Banyak digembar gemborkan bahwa pajak merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan, pasalnya kekayaan orang kaya bisa mengalir ke orang miskin melalui pajak. Akankah dengan semakin banyak kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak akan berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat?
Jika kita tengok di kehidupan negara barat, pajak dikenakan begitu tinggi. Fungsinya digunakan untuk membiayai kehidupan fasilitas umum dan orang miskin. Namun meskipun seperti itu tidak serta merta dunia barat bebas dari kemiskinan, bahkan yang terjadi banyak sekali homeless, jobless dan hidup dalam keterbatasan fasilitas, jurang antara si kaya dan si miskin begitu tajam. Negara sebesar AS yang selalu diangung-agungkan ternyata begitu banyak homeless, kondisi ini diperlihatkan di kanal youtube AJ+ dengan judul Inside skid Row. Tidak jauh beda dengan di Inggris melalui kanal youtube BBC, terlepas penyebab mereka homeless dan jobless.
Maka tidak ada jaminan bahwa semakin banyak kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak akan membuat masyarakat sejahtera. Lalu bagaimana dengan negara kita? Secara gamblang kita bisa melihat bagaimana susahnya memenuhi kebutuhan hidup, semua serba mahal, kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan melangit, belum lagi begitu sulit mencari uang, PHK dimana-mana, kalaupun masih bekerja gaji pun tak kunjung naik. Dengan kondisi rakyat yang kesusahan masih saja dibebani dengan berbagai jenis pajak yang disahkan oleh UU. Bukankah kondisi ini sangat miris, rakyat kecil terus diperas hingga keringkerontang, sedangkan pembisnis kelas kakap sering sekali mengemplang pajak, diperparah banyak sekali tikus berdasi yang menggondol uang dari keringat rakyat. Jika diibaratkan, kondisi rakyat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Keberadaan pajak meskipun tak menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, namun akan tetap diberlakukan, malah menjadi pendapatan utama negara. Dari tahun ke tahun APBN dari sektor pajak mengalami peningkatan. Di tahun 2020 penerimaan sebesar Rp 1.698.648,50 triliun. Jumlah ini terdiri dari perpajakan sebesar Rp 1.404.507,50 triliun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Rp 294.141,00 triliun, dan hibah Rp 1.300,00 triliun (bps.go.id). Dari prosentase itu, terlihat bahwa pajak menjadi sumber utama pendapatan negara. Sudah barang tentu prosentase ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Peningkatan pendapatan pajak merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam sistem tersebut, peran negara harus seminimalis mungkin sedangkan peran mekanisme pasar sangat besar. Hajat hidup rakyat diserahkan ke mekanisme pasar dan swasta, alhasil hukum rimba pun berlaku yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Fasilitas umum yang seharusnya menjadi hak seluruh masyarakat menjadi tak terjangkau, seperti pendidikan dan kesehatan, jika ingin berkualitas harus meronggoh kocek yang sangat dalam. Itulah sebabnya pajak akan terus dipertahankan, karena di dalam pajak memiliki fungsi budgeter dan regulator.
Hal ini sangat disayangkan, SDA yang melimpah tidak menjadi pemasukan utama negara malah diserahkan kepada investor asing, aseng dan investor lokal lainnya. Dengan kata lain SDA yang sejatinya milik rakyat yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat beralih tangan untuk kesejahteraan segelintir elit, alhasil rakyat terus diperas melalui berbagai macam pajak.
Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat luar biasa sesungguhnya sangat mampu untuk terlepas dari jeratan pajak, asalkan sumber daya yang ada di dalam perut bumi, lautan dan hutan yang melimpah ini dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara bukan untuk diprivatisasi. Selain potensi SDA, kegemaran kaum muslimin dalam zakat memiliki potensi yang besar dalam pemasukan negara. Namun jika potensi SDA dan zakat dikelola dalam sistem kapitalis maka tidaklah pas.
Sistem Islam merupakan sistem buatan Sang Pencipta memiliki aturan dalam perihal perekonomian yang khas, termasuk dalam pengaturan keuangan, baitul mal namanya. Di dalam baitul mal yaitu kas negara pajak bukanlah pendapatan utama. Alih-alih menjadi pendapatan utama, pajak hanya akan diberlakukan jika kas negara benar-benar kosong sedangkan tidak ada pemasukan sama sekali, barulah pajak diterapkan dan itu hanya untuk masyarakat yang kaya saja.
Jika baitul mal telah terisi, pajak pun dihentikan. Maka sifatnya insidental saja. Pos pemasukan baitul mal bersumber dari zakat, fai', jizyah, kharaj, usyur, ghanimah, harta warisan orang yang tidak memiliki ahli waris, SDA, harta shuf'ah, waqaf, harta yang ditinggal lari oleh pemiliknya.
Pengalokasian baitul mal digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, memberikan fasilitas umum berupa pendidikan, kesehatan, keamanan dan sebagainya untuk muslim maupun non muslim, mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara, maka tak ada pembeda di antara mereka. Begitulah seharusnya pengaturan ekonomi dalam Islam. Sudah saatnya kita kembali pada aturan Illahi agar tercipta kesejahteraan umat.