Oleh : Reny K. Sarie
(Pegiat Opini Islam & Pemerhati Sosial)
Aku melihat hak yang paling kuat adalah hak seorang mu’allim
Ialah hak yang paling wajib
dijaga oleh setiap muslim
Ia berhak diberi hadiah
seribu dirham
Untuk setiap huruf yang ia
ajarkan, sebagai penghormatan
(Imam Az-Zarnuji – Kitab Ta’limul Muta’allim)
Viral video seorang guru honorer yang sedang mengikuti seleksi
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang memasuki ruang seleksi
dengan tertatih-tatih dan digendong. Guru tersebut bernama ibu Imaskustiani,
berusia 53 tahun, berusaha mencoba mengikuti seleksi tersebut dengan harapan
adanya perbaikan nasib dan kesejahteraan bagi dirinya yang telah menjadi guru
honorer di Sekolah Dasar sejak tahun 2004. Ibu Imaskustiani tidaklah seorang
diri, ia hanyalah salah satu dari jutaan guru honorer lainnya yang
menggantungkan nasibnya pada seleksi yang diadakan pemerintah dan dianggap
sebagai langkah strategis serta tindakan afirmatif untuk memenuhi kebutuhan
guru dan solusi bagi masalah guru honorer.
Pemerintah membuka
kesempatan bagi para guru honorer, untuk mendaftar dan mengikuti ujian seleksi
menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2021.
Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan
(Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak
mengajar. Menurut Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin,
pemerintah menempatkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sebagai prioritas
nasional. “Meskipun tugas pengajaran adalah tugas seluruh anggota masyarakat,
tapi guru memiliki peran yang sangat penting untuk menghasilkan SDM unggul.
Untuk itu diperlukan pendidik yang memiliki kompetensi yang tinggi dan yang
tidak boleh dilupakan, jumlahnya harus memadai,” ujar Wakil Presiden pada
pengumuman seleksi PPPK, secara virtual, Senin (23/11).
Sesuai
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pegawai
Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK.
Adapun guru PPPK adalah guru bukan PNS yang diangkat berdasarkan perjanjian
kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas mengajar.
Kemendikbud
melakukan perhitungan berdasarkan Dapodik bahwa kebutuhan guru di sekolah
negeri, di luar guru yang berstatus PNS yang saat ini mengajar, mencapai satu
juta guru. Dilihat dari sudut pandang keberadaan guru, jumlah guru ASN yang
tersedia di sekolah negeri hanya 60 persen dari jumlah kebutuhan seharusnya.
Sejak empat tahun terakhir, jumlah ini terus menurun sebanyak enam persen
setiap tahunnya. Namun, penambahan jumlah guru ASN hanya sekitar dua persen
setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan kurangnya pelayanan yang optimal kepada
peserta didik.
Lebih
lanjut Wakil Presiden menekankan bahwa pemerintah melihat pemanfaatan guru
honorer tanpa status yang jelas, merugikan bagi para guru honorer. “Hari ini
kita menyaksikan pengumuman rencana seleksi PPPK yang objektif dan terbuka
untuk memenuhi kebutuhan guru, sebagai awal penyelesaian status guru honorer,”
tutur Wakil Presiden.
Senada
dengan Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem
Anwar Makarim mengatakan, “pembukaan seleksi untuk menjadi guru PPPK adalah
wujud negara hadir menyediakan kesempatan yang adil untuk guru-guru honorer
yang kompeten agar mereka mendapatkan penghasilan yang layak,” terang Mendikbud
pada kesempatan yang sama. “Rencana seleksi ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk
meningkatkan pelayanan kepada peserta didik adalah melalui peningkatan
ketersediaan guru ASN dengan melakukan seleksi guru PPPK,” imbuh Mendikbud.
Sekilas kebijakan seleksi PPPK ini seakan menampakkan niat
baik dan tulus pemerintah untuk menyejahterakan nasib para guru honorer. Namun
pada kenyataannya banyak aturan dan teknis seleksi yang dirasakan menambah
panjang beban berat perjuangan para guru honorer untuk merasakan adanya
perbaikan kesejahteraan mereka.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
Satriwan Salim menyebut ada banyak masalah dalam proses pelaksanaan tes seleksi
guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dihelat
pemerintah pada 13 September.
Satriwan menyampaikan, pihaknya menemukan banyak kendala dalam proses seleksi
tes mulai dari minim informasi kepada calon guru PPPK, kesalahan administasi
oleh sistem, hingga nilai ambang batas (passing grade) yang menurutnya terlalu
tinggi.
"Para guru sebenarnya sudah merasa cemas sejak
beberapa hari sebelum tes dimulai, sebab informasi yang diberikan Panselnas
kurang optimal sehingga banyak masalah di lapangan," kata Satriwan dalam
keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/9). Selain itu,
Satriwan menyebut laman resmi Kemendikbudristek untuk melamar PPPK juga
sempat tidak bisa diakses sehingga menyulitkan guru yang akan mendaftar. Temuan
ini dilaporkan oleh P2G Kabupaten Bogor, Karawang, Sidoarjo, Blitar, Aceh
Timur, Bima (NTB), dan Ende (NTT).
Kritik juga datang dari Wakil Sekretaris
Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho. Dia berpandangan proses
pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa
pengabdian seseorang sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa
mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan
mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya.
"Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung
bukan melalui proses seleksi tapi di lihat masa pengabdiannya para guru
itu," ujar Irwan kepada wartawan, Minggu (19/9/2021). Irwan menyayangkan
pemerintah masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya
mengikuti proses seleksi PPPK serta CPNS hanya untuk memperoleh
kesejahteraannya.
Dia pun mempertanyakan perhatian Mendikbud Ristek Nadiem
Makarim terhadap dedikasi para guru, apalagi ketika tahu ada yang gagal
menembus ambang batas seleksi (passing grade). "Mereka sudah mengabdi
sangat lama dan mereka mengajar itu di pelosok-pelosok daerah, seharusnya itu
menjadi perhatian pemerintah," katanya.
Oleh karenanya, Irwan meminta pemerintah memperhatikan nasib para guru honorer
yang cukup masa pengabdiannya dengan melakukan pengangkatan secara langsung
menjadi PPPK atau CPNS tanpa proses seleksi.
Nasib Guru Honorer Dalam
Sistem Kapitalis
Sistem pendidikan negeri ini
tak bisa dilepaskan dari paradigma sistem politik dan ekonomi kita yang
bercorak kapitalis liberal, dimana negara berlepas tangan dalam memenuhi
kebutuhan publik termasuk pendidikan. Guru sebagai bagian dari sistem
pendidikan adalah sebuah profesi yang mulia. Sebab lahirnya generasi penerus
bangsa yang akan membangun peradaban sangat bergantung pada guru. Namun miris,
jasa guru yang besar tidak sebanding dengan gajinya yang minim. Terlebih bagi
guru honorer, kecilnya gaji yang hanya kisaran 300 ribu per bulan, atau 12 ribu
per hari, dirasa sangat tidak manusiawi. Bahkan ada guru honorer yang menerima
gaji 50 ribu per bulan. Untuk biaya transportasi pun tak cukup. Belum lagi
untuk makan. Sementara mereka sudah meluangkan separuh waktunya untuk mengajar.
Kondisi ini sudah berlangsung lama, rezim berganti rezim,
tahun berganti tahun, namun belum ada tanda-tanda peningkatan gaji bagi guru honorer.
Padahal syarat bagi guru honorer minimal berijazah strata satu. Dengan jumlah
guru honorer yang banyak, alih-alih mendapat perhatian pemerintah, justru
tenaga honorer dianggap sebagai beban. Saat ini, dana BOS dari pemerintah pusat digunakan untuk gaji
guru atau tenaga honorer maksimal 50 persen. Itu pun dengan syarat guru atau
tenaga honorer yang akan menerima gaji dari dana BOS harus mempunyai Nomor Unik
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Selain itu, jumlah siswa di sebagian
sekolah sedikit, sedangkan jumlah guru honorernya banyak. Akibatnya, gaji guru
dan tenaga honorer di sekolah-sekolah tersebut sangat rendah.
Bentuk perlakuan negara pada guru honorer ini menunujukkan negara
gagal mengatasi penyaluran tenaga kerja. Karena pada awalnya, rekrutmen tenaga
honorer adalah upaya mengurangi pengangguran sekaligus pemerintah mendapatkan
tenaga kerja yang mau dibayar rendah sesuai anggaran negara karena belum
berpengalaman atau karena janji direkrut sebagai ASN.
Inilah cara pandang pemerintah terhadap rakyat khususnya dalam
pendidikan yang selalu menghitung untung rugi. Sehingga selalu menganggap
sebagai beban anggaran. Pendidikan dianggap barang komersial. Berdalih
keterbatasan anggaran, padahal nyatanya memang negara tidak sungguh-sungguh melayani.
Nasib buruk yang dialami guru honorer di
negeri ini tak lain dan tak bukan adalah akibat diterapkannya sistem
kapitalisme sekuler. Ya, kapitalismelah sistem hidup yang membawa pendidikan di
negeri ini masuk ke dalam jurang kehancuran Tetap hidup dalam kapitalisme hanya
akan membuat para guru menderita dan terhina. Padahal guru adalah tulang
punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa
depan. Generasi yang akan datang sangat ditentukan peran guru dalam mendidik
mereka.
Seandainya
pemerintah memperhatikan peran strategis ini, tentu pemerintah tidak akan abai
dalam menyejahterakan para pencetak generasi ini. Seharusnya pemerintah lebih
peduli dan bersungguh-sungguh memecahkan masalah nasib para guru honorer yang
tidak mendapatkan hasil sepadan dengan jasa yang sudah dicurahkan.
Tapi
sekali lagi, hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem pendidikan kapitalis
sekuler dalam memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.
Pendidikan Dalam Paradigma Islam
Pendidikan adalah hal
penting dalam Islam. Hal ini ditunjukkan dengan ditinggikannya derajat
orang-orang berilmu di atas orang-orang yang tidak berilmu sebanyak satu
derajat. Bahkan mereka digolongkan ke dalam golongan pewaris para Nabi. Nabi SAW. bersabda, “Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan
ilmunya) atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam
purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” (HR. Ad Dailami).
Islam telah menjadikan pendidikan sebagai hajah assasiyah (kebutuhan
dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat oleh
negara. Nabi SAW bersabda, “Imam adalah pemimpin, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Al Bukhari). Negara wajib
menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat
hingga pendidikan tinggi. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Ihkam menjelaskan,
Khalifah berkewajiban menyediakan sarana pendidikan, sistem pendidikan dan
orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Tujuan pendidikan dalam
Islam adalah membentuk kepribadian Islami (syakhsiyyah islamiyah) dan membekali
anak didik dengan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan urusan hidupnya.
Maka
negara akan menyiapkan infrastruktur sekolah yang memadai secara merata,
menyediakan tenaga pengajar profesional, menetapkan gaji yang layak bagi para
guru, menyiapkan perangkat kurikulum berbasis akidah Islam, memberi pelayanan
pendidikan dengan akses yang mudah bahkan gratis bagi seluruh warga negara.
Perhatian negara Khilafah pada sistem
pendidikan sangat tinggi. Hal ini bisa kita telusuri dari fakta sejarah
peradaban Islam memimpin dunia selama 13 abad. Karena Khilafah memahami bahwa
membangun manusia unggul harus dimulai dengan sistem pendidikan yang
berkualitas.
Mengingat pentingnya pendidikan bagi masa
depan generasi, Khilafah memberi penghargaan tinggi termasuk memberi gaji yang
melampaui kebutuhan guru. Pernahkah kita mendapatkan zaman dimana gaji guru
yang mengajar anak-anak atau hari ini seukuran anak TK sebesar 51 juta per
bulan? Tentu tidak! Namun itulah yang pernah terjadi di masa kekhalifahan.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar
anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar (jika dikonversi ke harga emas
bisa setara dengan Rp51 juta) tiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitulmal.
Khilafah sangat memperhatikan guru dengan memberi gaji yang
sangat layak. Kesejahteraan guru benar-benar nyata. Raghib As-Sirjani
dalam kitab “Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām” menyebutkan perhatian Khalifah terhadap guru juga
diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan
biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi
nyaman. Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti
yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji
200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir.
(I/231).
Dengan
gaji yang begitu tinggi, para guru tidak perlu repot mencari pendapatan
tambahan seperti yang dialami guru honorer hari ini. Mereka bisa fokus
melakukan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM unggul yang dibutuhkan
negara dalam membangun peradaban agung.
Sungguh, kesejahteraan guru
tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kaffah dalam seluruh
aspek kehidupan. Dan itu hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan
dalam naungan Khilafah, karena hanya sistem Islam dalam naungan Khilafahlah
yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki dan Rahmatan lil’alamin. Kegemilangan
ilmu dan peradaban pun akan dapat tercapai dengan Islam dimana guru menjadi
salah satu kontributor dalam penyebaran ilmu. Wallahu’alam.