Oleh : Eti Fairuzita*
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya.
"Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung bukan melalui proses seleksi tapi di lihat masa pengabdiannya para guru itu," ujar Irwan kepada wartawan, Minggu (19/9/2021).
Irwan menyayangkan pemerintah masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya mengikuti proses seleksi PPPK serta CPNS hanya untuk memperoleh kesejahteraannya.
Dia pun mempertanyakan perhatian Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terhadap dedikasi para guru, apalagi ketika tahu ada yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing grade).
"Mereka sudah mengabdi sangat lama dan mereka mengajar itu di pelosok-pelosok daerah, seharusnya itu menjadi perhatian pemerintah," katanya.
Oleh karenanya, Irwan meminta pemerintah memperhatikan nasib para guru honorer yang cukup masa pengabdiannya dengan melakukan pengangkatan secara langsung menjadi PPPK atau CPNS tanpa proses seleksi.
https://nasional.sindonews.com/read/545032/15/pengangkatan-guru-honorer-harus-lewat-seleksi-menuai-kritikan-1632046180
Pemerintah akan mengalihkan pengangkatan guru melalui perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja alias PPPK pada 2021.
Dikutip Kompas.com, Rabu (29/12), Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, alasan perekrutan guru melalui PPPK berkaitan dengan persoalan distribusi guru secara nasional.
Pasalnya, menurut Bima, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, pemerintah mencoba menyelesaikan persoalan itu melalui sistem PNS tetapi tidak kunjung selesai.
Bukan hanya guru, Bima menyampaikan bahwa tenaga kesehatan seperti dokter, penyuluh, dan tenaga kepegawaian lain akan direkrut melalui mekanisme PPPK.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) PPPK adalah pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU tersebut.
Secara sederhana, PPPK adalah pegawai ASN yang diangkat dan dipekerjakan dengan perjanjian kontrak sesuai jangka waktu yang ditetapkan. Jadi, jika dalam jangka waktu kontrak yang ditetapkan telah selesai maka masa kerja PPPK bisa berakhir atau diperpanjang sesuai kebutuhan.
Masa perjanjian kerja paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja. PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS.
Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PPPK berhak memperoleh:
Gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan
kompetensi.
Adapun pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan hormat karena:
Jangka waktu perjanjian kerja berakhir, meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau terjadi perampingan organisasi serta kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK.
Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati.
Berdasarkan beberan fakta di atas, maka tidak heran jika kebijakan pemerintah ini justru menuai banyak penolakan. Terutama dari mereka yang notabennya masih guru honorer, karena mereka menilai kebijakan ini tidak akan berpihak kepada mereka dan sangat jauh dari rasa keadilan.
Seperti yang disampaikan oleh Forum Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non-Kategori 35 Tahun ke Atas (GTKHNK 35+) menolak skema pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka enggan bersaing dalam seleksi yang diwacanakan pemerintah tahun ini.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menjadikan seleksi PPPK sebagai solusi isu kesejahteraan honorer dan ketimpangan rekrutmen dengan jumlah guru yang pensiun.
Namun, menurut Wakil Ketua 4 GTKHNK35+ Yusak, kebijakan ini tak menunjukkan keberpihakan kepada honorer. Pasalnya, seleksi bukan hanya diperuntukan bagi tenaga honorer, tapi juga bagi lulusan profesi guru yang belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Bayangkan ada orang usia 50 tahun sudah mengabdi 20 tahun, disuruh berlomba mengikuti tes yang tamatan [profesi guru], anak murid kami. Anak murid kami banyak yang sekarang sudah jadi guru," tutur Yusak mengungkapkan keluhannya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (8/2).
Ia khawatir, kesempatan guru honorer lolos seleksi akan lebih sempit. Padahal, banyak guru honorer yang sudah mengabdi hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Yusak sendiri sudah mengajar sejak 2006 di dua sekolah sekaligus untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.
Menurut pengalaman pribadinya, gaji yang diterima guru honorer jauh jika dibanding PNS. Masih banyak guru honorer yang hanya mendapatkan upah Rp100 ribu sampai Rp300 ribu per bulan. Dengan kondisi seperti itu pun, ia mengaku masih sering mendapat perlakuan tak adil.
Ketika pemerintah mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, cerita Yusak, guru PNS diprioritaskan untuk mengikuti kegiatan. Padahal, menurutnya guru honorer juga membutuhkan pendampingan. Situasi ini membuatnya tak heran jika kemampuan guru honorer dinilai rendah.
Sementara ketika seleksi PPPK digadang-gadang sebagai perbaikan kesejahteraan bagi honorer, guru yang bisa lolos seleksi hanya yang memenuhi standar kualitas dari pemerintah. Ia menilai ini tidak adil, mengingat minimnya pendampingan dan perhatian dari pemerintah sejak dulu.
"Kalau pemerintah bilang harus tes untuk dapat kualitas, lah, justru masalahnya selama ini juga [seleksi honorer] enggak ada tes. Itu bukan salah guru honorer. Tapi pemerintah yang enggak adakan tes selama ini," ucapnya.
Perlakuan pemerintah terhadap pihaknya, menurut Yusak, tak berbanding dengan jasa guru honorer terhadap dunia pendidikan. Ia mengatakan di daerah, proporsi guru honorer bisa mendominasi satu sekolah negeri dibandingkan guru PNS.
Ia pun menyinggung perkara kekurangan guru PNS yang ujung-ujungnya memaksa sekolah dan pemerintah daerah merekrut honorer. Menurutnya, masalah itu menjadi kesalahan pemerintah yang tak cakap dalam pengelolaan guru dan pelaksanaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
"Seharusnya negara itu malu, pemerintah malu. Berutang negara itu dengan guru honorer dan tenaga kependidikan," ujarnya.
Atas pertimbangan itu, Yusak menegaskan pihaknya menolak skema pengangkatan PPPK melalui seleksi. Ia meminta guru honorer diangkat dengan skema afirmasi alias langsung diangkat menjadi PNS tanpa seleksi. Ia juga menuntut skema serupa diterapkan untuk tenaga kependidikan.
Sebelumnya, Kemendikbud bersama Kementerian PANRB menyiapkan kuota pengangkatan 1 juta guru menjadi PPPK pada 2021. Ini diharapkan dapat membantu perkara kesejahteraan honorer, karena gaji PPPK setara dengan PNS.
Seleksi PPPK juga dibuka untuk guru tanpa batas usia selama masih di bawah batas pensiun guru, yakni 60 tahun. Ini berbeda dengan CPNS yang hanya diperuntukkan bagi peserta 35 tahun ke bawah.
Selain untuk perkara kesejahteraan, seleksi PPPK juga digenjot karena ada kekhawatiran akan proyeksi sekolah kekurangan 1 juta guru dalam kurun waktu 2020-2024. Ini dikarenakan proporsi guru yang pensiun serta penambahan sekolah dan kelas baru yang tidak berimbang dengan rekrutmen CPNS.
Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan betapa buruknya sistem hari ini dalam menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat, memfasilitasi dengan jumlah guru yang memadai dan berkualitas, serta membiayai kebutuhan pendidikan termasuk dengan menempatkan terhormat dan meggaji secara layak para pendidik. Tentu itu semua terjadi tidak lepas dari paradigma sekuler kapitalisme dalam penyelenggaraan pendidikan yang terus menyisakan masalah yang tak kunjung mampu terselesaikan.
Berkebalikan dengan sistem Islam yakni Khilafah yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik yang wajib dipenuhi oleh negara serta ditopang oleh sistem politik-ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan secara maksimal. Sehingga masalah pendidikan baik yang mencakup perihal kurikulum, sarana-prasarana, atau pun fungsi guru beserta kesejahteraan mereka menjadi prioritas utama.
Wallahu alam bish- sawab
*(Menulis Asyik Cilacap)
Tags
Opini