Nasib Garam di Tangan Oligarki, Membutuhkan Sistem Kenegaraan Mandiri




Oleh : Ummu Hanif 
(Pemerhati Sosial dan Keluarga)

Pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor garam (garam impor) pada tahun ini sebesar 3,07 juta ton pada tahun 2021. Keputusan itu disampaikan langsung oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita. Impor terpaksa dilakukan pemerintah karena kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021. Sementara stok dari petani garam lokal jauh dari mencukupi. Agus membeberkan dua alasan utama perlunya garam impor. Pertama selain tak mencukupi kebutuhan nasional, kualitas garam lokal dianggap tidak memenuhi standar industri. (www.kompas.com, 25/09/2021)

Berdasarkan data 22 September 2020 masih ada 738.000 ton garam rakyat yang tidak terserap oleh industri. Jokowi juga menyoroti masih rendahnya produksi garam nasional di Indonesia, sehingga cara yang mudah adalah dengan terus melakukan impor garam. Kebutuhan garam nasional pada 2020 sebanyak 4.000.000 ton per tahun, sementara produksi garam nasional baru mencapai 2.000.000 ton. Akibatnya alokasi garam untuk kebutuhan industri masih tinggi yaitu 2,9 juta ton, sehingga pemerintah perlu melakukan langkah-langkah perbaikan besar-besaran pada supply chain, mulai hulu sampai hilir.

Pemerintah sempat mencanangkan tak lagi impor garam alias swasembada pada tahun 2015 atau tahun-tahun pertama periode pemerintahannya bersama JK.  Penolakan impor pangan oleh Presiden Jokowi memang sudah sering dilontarkan, saat berkampanye Pilpres 2014 di Cianjur, 2 Juli 2014. diungkapkan yaitu stop impor pangan, stop impor beras, stop impor dagung, bawang, kedelai, sayur buah, ikan, karena semuanya dimiliki.

Semestinya ada kesungguhan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi masalah berulang  ini. Jika alasan mengapa pemerintah mengambil langkah impor karena kuantitas dan kualitas belum memenuhi syarat kebutuhan industri, sebenarnya hal ini bisa diatasi dengan kemauan politik untuk swasembada. 

Jika mengacu kepada apa yang dilakukan Rasulullah saw. dalam sebuah negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dan dilanjutkan setelahnya dalam institusi khilafah selama 13 abad lebih, maka bisa kita lihat strategi mengatur pasar dalam negeri bertumpu pada kemandirian. Jika ternyata produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi demand (permintaan) dari dalam negeri, maka negara harusnya berupaya untuk dapat swasembada. Negara akan mengatur mulai dari proses produksi sampai produk jadi sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Dalam hal garam, misalnya bila diperlukan garam untuk industri, maka negara akan mengusahakan industri pengolahan garam yang kualitasnya memenuhi persyaratan industri, sehingga negara akan mandiri dengan produknya sendiri, terlebih bila bahan bakunya melimpah tersedia. 
 
Untuk menjalani hal ini tentu dibutuhkan konsep kenegaraan yang mandiri. Konsep yang tidak bisa diintervensi oleh oligarki dan korporasi, tetap sesuai dengan apa yang diajarkan Islam yaitu ri’ayatul su’unil ummah dakhiliyan wa kharajiyan. Memenuhi urusan masyarakat di dalam dan di luar negeri.

Maka bila saat ini terjadi demand yang besar terhadap garam dan merupakan komoditas krusial yang selalu diperlukan industri dalam negeri, maka seharusnya industri pengolahan garam industri merupakan hal yang sangat prioritas harus dibangun. Pembangunan industri pengolahan garam industri ini akan memberikan efek pembangunan ekonomi secara berantai, juga akan menyebabkan negeri ini tidak tergantung pada impor garam dari negara lain. Walhasil masalah impor garam yang selalu terjadi berulang kali dapat diatasi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak