Menyoal Bantuan Negara Untuk Sekolah, Makin Diskriminatif dan Bermasalah



Oleh : Eti Fairuzita*


Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) menuai protes.

Protes datang dari Aliansi Pendidikan yang merupakan gabungan sejumlah organisasi, yang menolak Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021.
“Kami menolak Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler,” ujar Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, di Jakarta, Jumat 3 September 2021.

Pihaknya juga mendesak Mendikbudristek menghapus ketentuan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler.

Dia menjelaskan Kemendikbudristek melalui Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler dan Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler bertolak belakang dengan amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

"Diskriminatif, dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial. Sebagaimana Permendikbud tersebut terutama Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler tertera ketentuan sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir,” ujar dia.

https://insulteng.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-902523167/kebijakan-penyaluran-dana-bos-tuai-protes-permendikbud-nomor-6-tahun-2021-disebut-diskriminatif

Kabar buruk dunia pendidikan kembali menghampiri negeri ini, setelah Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Risat, dan Teknologi (Kemendikbud-ristek) mengatakan bahwa pihaknya mulai menghentikan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terhadap sekolah yang memiliki jumlah siswa kurang dari 60 pada 2022 mendatang.

Menurut Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno mengatakan, sejumlah sekolah swasta mengalami kendala dalam memenuhi jumlah peserta didik yang berjumlah 60 tersebut. Hal itu dikarenakan sekolah swasta banyak berada di daerah-daerah pelosok, yang mana belum terjangkau sekolah negeri. Sehingga tidak salah ketika banyak pihak menilai kebijakan Kemendikbud diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial, imbuhnya.

Sistem kapitalisme sekuler telah menyumbang banyak sekali permasalahan tak terkecuali dalam bidang pendidikan, tidak menutup kemungkinan apabila kebijakan ini diberlakukan maka akan mengakibatkan angka putus sekolah semakin tinggi. Terlebih di masa pandemi, kebijakan ini pun jelas akan berimbas pada penutupan sekolah terutama sekolah swasta.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi selama pandemi covid 19, hal itu disampaikan Retno berdasarkan hasil pemantauan KPAI di berbagai daerah.

Bahkan menurut UNICEF, masa depan anak Indonesia terancam akibat pandemi covid 19 yang berkepanjangan. Ada 4,3 juta anak tidak mendapatkan pendidikan sekolah dan 2,3 juta anak tidak bisa baca tulis. Ditutupnya sebagian besar sekolah membuat resiko ini jauh lebih tinggi terutama bagi anak dari keluarga pra-sejahtera. Sebagian terancam dinikahkan, harus bekerja, atau tidak memiliki akses belajar jarak jauh.

Betapa kebijakan ini membuktikan bahwa negara telah gagal membangun infrastruktur pendidikan. Dana BOS yang seharusnya untuk membangun infrastruktur pendidikan yang kokoh malah harus ditarik hanya karena persoalan jumlah siswa. Inilah carut marut pengelolaan infrastruktur sekolah dalam sistem kapitalis liberal. Sistem ini menghasilkan negara yang bermasalah secara ekonomi sehingga membuat anggaran negara untuk pendidikan sangat minim.
Sehingga secara otomatis, pembangunan infrastruktur sekolah tak lagi menjadi prioritas.
Sistem yang menjadikan pendidikan sebagai barang komoditi ini telah melemahkan tanggung jawab negara terhadap kewajiban penyelenggaraan pendidikan bagi rakyatnya.

Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sistem negara Islam yakni Khilafah. Dimana dalam sistem Islam negara bertanggung jawab penuh dalam mencukupi kebutuhan pendidikan untuk rakyatnya. Menyiapkan sarana pendidikan yang bersifat pokok seperti bangunan (ruang kelas), perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain merupakan termasuk kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Sebab Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi hak bagi setiap warga negara, baik Muslim maupun non Muslim, kaya ataupun miskin tanpa kecuali sehingga negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara gratis.

Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Muntashir Billah, sebagaimana yang pernah dicatat tinta sejarah didirikan Madrasah al-Muntashiriah di kota Baghdad. Dimana setiap siswanya menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian para siswa dijamin sepenuhnya oleh negara, begitupun fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Dengan kemakmuran negara Islam pada waktu itu, anggaran pendidikan tak pernah menjadi masalah.

Sehingga tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam, siswa tidak sekolah karena tidak adanya akses pendidikan di wilayahnya. Secara filosofi, minimnya infrastruktur sekolah berarti menghambat pelaksanaan kewajiban menuntut ilmu. Dengan demikian negara Khilafah sangat memberi perhatian bagi pembangunan infrastruktur sekolah. Hadirnya banyak perpustakaan maju di zaman Kekhilafahan cukup untuk membuktikan bahwa penyediaan infrastruktur pendidikan menjadi prioritas negara. Para penuntut ilmu begitu betah menimba ilmu di sekolah, dari sanalah lahir para ilmuwan-ilmuwan Muslim yang gigih belajar dan mengajarkan ilmu.

Hal ini selayaknya mampu menyadarkan umat Islam tentang rusaknya tatanan bernegara yang sekuler kapitalistik liberal. Sistem ini telah terbukti menelantarkan pelayanan pendidikan yang menjadi kebutuhan pokok umat. Sebaliknya, hal ini juga menyadarkan kita tentang pentingnya negara mengelola urusannya dengan syariah Islam dan Khilafah, sebab dalam Islam negara benar-benar hadir untuk melayani seluruh urusan rakyat termasuk pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.

Wallahu alam bish-sawab


*(Menulis Asyik Cilacap)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak