Oleh : Ummu Hanif
(Pengamat Sosial dan Keluarga)
Pendemi covid, telah berhasil meluluhlantakkan perekonomian di Indonesia. Salah satu sektor yang digadang-gadang menjadi salah satu “leading sector” dalam pemulihan ekonomi Nasional dan daerah adalah pariwisata. Pemerintah mengaggap pariwisata menjadi sektor andalan agar terjadi arus modal dan investasi dari berbagai negara, baik korporasi maupun personal ke suatu negeri. Hal inilah yang menjadikan pariwisata didaulat menjadi tumpuan pemulihan ekonomi.
Dengan demikian, Presiden Joko Widodo memberikan berbagai kemudahan untuk para investor asing untuk bisnis di bidang pariwisata Indoneisa. Hal ini dapat terlihat dari kebijakan presiden yang mengarahkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengurus mulai tax holiday, tax allowance hingga perizinan awal investasi dengan memakan waktu hanya 3 jam saja bagi rencana investasi minimum Rp100 miliar dan rencana penggunaan tenaga kerja minimum 1000 orang. Banyaknya reformasi di sisi birokrasi dan peraturan investasi, diharapkan banyak investor asing yang melirik potensi untuk berbisnis di Indonesia. (www.kemlu.go.id, 25/07/2020)
Selain itu, pemerintah juga memberi Dukungan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pariwisata dan ekonomi kreatif yang disalurkan melalui berbagai program yaitu Bangga Berwisata di Indonesia, Bangga Buatan Indonesia, dan Indonesia Care/I Do Care di sektor perhotelan dan pariwisata. Dukungan juga telah diberikan kepada kegiatan perfilman, Bantuan Pemerintah untuk Usaha Pariwisata (BPUP) dan dukungan akomodasi hotel untuk para tenaga kesehatan. Pemerintah melalui dana PEN juga mengalokasikan sebesar 7,67 triliun rupiah pada tahun ini, untuk mendukung pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional dan pelatihan SDM pariwisata.
Pada tahun 2020, Pemerintah juga memberikan dana hibah pariwisata sebesar 3,3 triliun rupiah kepada Pemerintah Daerah untuk menekan dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Tahun 2021, nominal dana hibah pariwisata ditingkatkan menjadi 3,7 triliun rupiah yang ditujukan untuk membantu Pemerintah Daerah serta industri, hotel, dan restoran yang mengalami penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta gangguan finansial akibat pandemi Covid-19.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, seberapa besar dampak pariwisata bagi kesejahteraan rakyat? Apabila melihat kondisi masyarakat di kawasan yang digadang-gadang sebagai pariwisata dunia seperti Bali dan Lombok, ternyata kehidupan yang diidam-idamkan tak kunjuk hadir. Kenyataannya warga Lombok dan Bali kewalahan dengan mahalnya biaya kebutuhan sehari-hari semenjak daerahnya dijadikan destinasi pariwisata dunia. Harga-harga menjadi naik menyesuaikan daya beli wisatawan. Harga tanah dan hunian menjadi selangit, tanah dan hunian kini dimiliki orang-orang kaya yang notabene adalah penguasa dari luar negeri. Warga lokal ngontrak di daerahnya sendiri. Belum lagi, penampakan interaksi sosial dan gaya hidup bebas yang dipertontonkan wisatawan barat. Berimbas pada pola fikir dan pola sikap yang rusak tak terkontrol.
Para investor berlomba-lomba ingin menguasai Bali. Terutama investor Asing. Menurut Badan Pusat Statistik provinsi Bali tahun 2013 jumlah hotel berbintang lima ada 54 hotel, berbintang empat ada 62 hotel, hotel berbintang tiga ada ada 63 buah. Hotel-hotel tersebut umumnya milik investor asing dengan pendanaan yang kuat sehingga mampu menguasai lahan-lahan yang luas. Dengan harga jual tanah di Bali yang terus naik, berkisar 400 persen setiap tahun, masyarakat tergiur melepas milik mereka kepada investor. Hasil penelitian K3NI (Kelompok Kerja Krisis Nominee Indonesia) ada 50.000 warga negara asing (WNA) memiliki properti dan tanah di Bali. Ada 7500 kepemilikan villa oleh orang asing (Berita Bali. 2015). Wilayah-wilayah Publik yang Eksklusif. Beberapa tempat publik seperti sawah, pantai, pulau dimiliki secara eksklusif oleh pihak swasta.
Hal ini dapat menjadi gambaran bagaimana sebuah kota dijadikan destinasi wisata apalagi wisata dunia di era kapitalisme-liberal. Alih-alih menguntungkan, yang jelas adalah menghancurkan. Manusia menjadi budak nafsu dan terjerat pada kubangan kemungkaran. Tentunya kita tak ingin warga Jawa Barat pun menjadi semakin terjerumus dalam jebakan para penjajah barat.
Islam merupakan ideologi yang memiliki perangkat aturan yang komprehensif. Pariwisata tak luput dari pengaturan Islam. Pariwisata di dalam aturan Islam merupakan sarana dakwah dan propaganda, bukan sebagai sumber devisa apalagi tumpuan pemulihan ekonomi. Karena pos pembiayaan negara diambil dari pengelolaan SDA (harta milik umum), pos fa’i dan sejenisnya serta sedekah. Pengelolaan barang tambang dan SDA lainnya sepenuhnya dipegang oleh negara. Asing tidak boleh ikut campur di dalamnya. Hasil pengelolaannya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Keindahan alam yang dijadikan destinasi wisata, bagi wisatawan muslim menjadi pengokoh keimanan, sedangkan bagi wisatawan nonmuslim menjadi objek dakwah. Mereka tidak hanya dibiarkan menikmati keindahan alamnya saja, tetapi juga diberikan penjelasan mengenai alam raya, hakikat penciptaan dan kehidupan manusia dan alam semesta. Itulah kehebatan pengaturan Islam dalam pariwisata. Hal ini dapat terwujud apabila aturan Islam diterpakan menjadi sistem Negara. Wallahu ‘Alam Bisshowwab