Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Kleuarga)
Dunia maya, menjadi ajang bersosialisasi terlebih setelah masa pandemi. Alih-alih aman dari kejahatan, ternyata penggunaan internet memiliki dampak negatif dari beberapa konten yang tersedia dan akhirnya dikonsumsi secara bebas oleh masyarakat.
Terkait hal tersebut, Menkominfo Jhonny G. Plate menyampaikan bahwa Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung hampir dua tahun, telah memunculkan seluruh aktivitas manusia bermigrasi. Dari interaksi secara fisik menjadi media komunikasi daring. Kondisi ini dapat memicu terjadinya konten negatif di ruang digital. Maka ia kemudian melakukan tiga pendekatan untuk meredam sebaran konten negatif di internet yaitu di tingkat hulu, menengah, dan hilir. Untuk hulu contohnya, Kominfo telah menggandeng 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital ke masyarakat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga menyampaikan bahwa telah memblokir 2,62 juta konten negatif sejak 2018. Sekitar setengah di antaranya terkait pornografi. Dari 2.624.750 konten negatif yang diblokir sejak Agustus 2018 hingga September (21/9), sebenyak 1.536.346 berasal dari situs. Sedangkan 1.088.404 lainnya dari media sosial. Berdasarkan temuan Kominfo, terdapat 188 konten bermuatan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) di situs internet. BACA JUGA Kominfo Minta Facebook Jelaskan Tag Tautan Situs Porno di Indonesia Konten terbanyak yang diblokir oleh Kominfo yakni terkait pornografi, 1.096.395 konten. Kemudian perjudian 413.954 konten, yang berasal dari website. www.katadata.co.id, 23/9.2021)
Kalau kita cermati, ini adalah buah dari kebebasan berekspresi yang digaungkan oleh sistem sekuler demokrasi. Seperti yang kita ketahui, sistem sekuler demokrasi menjamin empat kebebasan yakni kebebasan berpendapat, beragama, berkepemilikan dan kebebasan berekspresi. Efeknya setiap individu bebas membuat konten yang menurut mereka itu sah-sah saja untuk dipublish. Bahkan jika itu melanggar nilai moral dan agama akan tetap dilanjutkan sebab menghasilkan pundi-pundi uang bagi kantong mereka. Selain itu, lemahnya sistem sanksi dalam sistem pemerintahan sekuler, menjadikan sulit menjerat para pembuat konten negatif. Alhasil konten negatif terus bermunculan dan mudah kita temui. Negara seharusnya lebih fokus pada solusi yang yang tepat, agar dapat menghentikan penyebaran konten negatif secara total.
Islam sebagai dien sekaligus sistem aturan kehidupan memandang bahwa antisipasi konten negatif muncul karena kurangnya keimanan dan ketaqwaan di masyarakat. Masyarakat telah mengambil dan menerapkan pemahaman liberal, sehingga mereka melakukan apapun atas nama kebebasan. Masyarakat banyak yang tidak peduli meski apa yang dilakukan melanggar berbagai norma yang ada, khususnya norma agama. Sehingga untuk memberantas konten negatif sejak akarnya, dapat dilakukan melalui penanaman aqidah secara mendasar. Islam medorong penggunaan media teknologi hanya untuk mempermudah aktivitas manusia dalam hal kebaikan seperti memberikan informasi yang benar bukan gosip apalagi konten pornografi. Islam juga memfilter konten-konten yang akan dikonsumsi publik, hanya konten positif yang bisa diakses. lalu bagi siapa saja yang memposting konten negatif seperti konten syirik yang mendangkalkan aqidah umat maka akan ada sanksi tegas yang akan diberikan.
Dalam Islam, media teknologi memiliki peran yang strategis dalam memberikan informasi dan edukasi secara cepat kepada umat. Ia berperan menyebarkan syiar Islam untuk menunjukkan keagungan Islam dan membongkar kebobrokan ideologi kufur. Hal demikian berbeda dengan sistem sekuler demokrasi yang menjadikan media sebagai alat untuk mengumpulkan keuntungan, merusak moral generasi manusia dan mesin penghancur Islam. Maka jika ingin menghentikan penyebaran konten negatif tak ada cara lain selain menerapkan Islam secara keseluruhan dalam seluruh aspek kehidupan. Waallahu ’alam