Oleh : Bunda Kayyisa Al Mahira
Fenomena gaya hidup yang makin digandrungi saat ini yaitu Kohabitasi. Istilah kohabitasi ini sering dibahas seiring dengan semakin banyaknya pasangan yang melakukan kohabitasi. Kohabitasi merupakan sebuah istilah yang ditujukan kepada pasangan yang tinggal satu atap tanpa ikatan perkawinan (KBBI Daring, 2021). Sebelumnya masyarakat mengenalnya dengan istilah kumpul kebo. Jadi kohabitasi ini merupakan istilah untuk memperhalus kumpul kebo.
Cara hidup seperti ini, dahulu disebut koempoel gebouw. Dalam bahasa Belanda, gebouw berarti bangunan atau rumah. Jadi koempoel gebouw artinya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah. Tetapi, telinga orang kita menangkap kata gebouw sebagai kebo. Maka perilaku yang ditunjukkan oleh laki-laki dan perempuan yang memutuskan hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan disebut kumpul kebo. Kumpul kebo merupakan sebutan yang menganalogikan perilaku manusia yang seperti binatang, tinggal dalam satu atap tanpa ikatan resmi. (Wartakotalive.com 17 Juni 2019).
Istilah kohabitasi awalnya muncul di dunia politik. Kata ini pinjaman dari bahasa Latin lewat bahasa Inggris: dari cohabitare (tinggal bersama) menjadi cohabitation. Istilah tersebut muncul pada tahun 1983, dua tahun setelah terpilihnya François Mitterrand sebagai presiden (1981-1995). Kohabitasi politik adalah suatu bentuk pengaturan pemerintah antara presiden eksekutif dan perdana menteri yang berasal dari partai lawan (Wartakotalive. com 17 Juni 2019)
Saat ini istilah kohabitasi digunakan untuk memperhalus sebutan bagi pasangan kumpul kebo yang hidup bersama satu atap tanpa ikatan perkawinan. Dengan kata lain kohabitasi merupakan perzinaan berbalut kesepakatan bersama. Kohabitasi merupakan istilah untuk memodernkan istilah kumpul kebo dan menyamarkan kemaksiatan. Sama seperti halnya istilah pelacur diganti dengan pekerja seks komersil (PSK).
Alibi pasangan yang melakukan kohabitasi diantaranya karena ingin hidup bersama, menghabiskan waktu bersama lebih lama. Ada juga yang beralasan untuk mengenal pasangan terlebih dahulu sebelum menikah. Ada pula yang terganjal tak bisa menikah karena beda agama kemudian mereka memutuskan tetap hidup bersama walau tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Dalam pandangan hukum positif pasal kohabitasi/ Pasal “Kumpul Kebo” dalam RUU KUHP masih berada dalam ranah kontroversi. Pasal itu berbunyi, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak kategori II.
Dalam RUU KUHP ini, ketentuan pasal kumpul kebo merupakan delik aduan. Namun, aduan tersebut hanya dapat diajukan oleh orang- orang yang paling terkena dampaknya. Pengaduan juga hanya dapat dilakukan oleh suami/istri (bagi yang terikat perkawinan); atau orangtua atau anaknya (bagi yang tidak terikat perkawinan). Bahkan, masih diperdebatkan di DPR, apakah kepala desa bisa menjadi pengadu atau tidak. Alhasil, tidak sembarang orang bisa membuat laporan terkait “kumpul kebo”. Jadi jerat hukuman pada pasangan kumpul kebo dapat diterapkan jika ada delik aduan.
Kohabitasi dalam Islam jelas hukumnya haram karena melanggar hukum syariat. Hukumnya sama dengan perzinaan karena mereka hidup bersama dalam satu atap melakukan hubungan seperti pasangan suami istri. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat Al-Isra ayat 32, yang artinya "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).
Rasulullah SAW sendiri pun mengingatkan kepada umatnya akan beratnya hukuman pelaku zina. Dan dosa zina menurut Islam, adalah tergolong dosa besar setelah syirik. Seperti dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar di sisi Allah, setelah syirik, kecuali dosa seorang lelaki yang menumpahkan spermanya pada rahim wanita yang tidak halal baginya," (Ibnu Abi al-Dunya).
Ancaman hukuman perbuatan zina, salah satunya dalam Alquran Surat An-Nur ayat 2, yang artinya "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dari hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman itu disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman."
Alhasil kohabitasi dalam Islam hukumnya haram sebagaimana hukum perzinahan dan merupakan perbuatan dosa besar. Kohabitasi ini terjadi sebagai buah penerapan kehidupan sekuler yang melahirkan kehidupan serba bebas dan serba boleh tidak terikat aturan agama. Hal ini tentu akan merusak tatanan kehidupan masyarakat dan peradaban manusia. Maka sekularisme yang berasal dari ideologi kapitalis ini harus dicampakan diganti dengan ideologi Islam yang akan memuliakan kehidupan dan peradaban manusia.
Wallahu'alam Bishowwab
Tags
Opini