Oleh : Rindoe Arrayah
Seolah sudah menjadi rutinitas, manakala memasuki musim penghujan, sejumlah daerah di Indonesia dilanda banjir. Salah satunya yang selalu mengalami kebanjiran di Bandung didaerah sekitaran sungai Citarum. Sejumlah proyek penanganan banjir sedang dilakukan di Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, kabupaten Bandung. Diantaranya, pengerukan air sungai Citarum dan pembersihan sampah-sampah.
Untuk mengurangi luapan air Sungai Citarum ke pemukiman warga, maka solusi yang bisa dilakukan adalah dengan cara pengerukan. Saat ini pengerukan dilakukan terus menerus, namun tanah yang dikeruk tidak diangkut ke daerah lain, melainkan hanya dialihkan ke bagian pinggir untuk dijadikan tanggul. Tidak begitu lama, tanah tersebut kembali masuk ke sungai walaupun dalam jumlah tidak terlalu banyak.
Harapan lain adalah pembangunan tanggul dari beton. tanggul tersebut akan mampu menahan air Citarum. Namun masih menyisakan pertanyaan besar, karena terdapat sejumlah pintu air. Jika tidak ditutup, kemungkinan besar tetap akan masuk. Oleh karenanya, belum bisa dipastikan nantinya akan ada pompa air atau tidak. Jadi, masih tetap memunculkan rasa was-was banjir akan kembali terjadi saat musim hujan.
Begitupun dengan pembangunan danau retensi. Pengalaman dari pembangunan danau retensi Cieunteung, banjir tetap terjadi walaupun dengan adanya danau tersebut sedikit mereduksi dampak, baik lama genangan maupun banjir datang secara lambat. Pembuangan sampah ke sungai yang dilakukan oleh masyarakat juga menjadi penyebab lain dari banjir yang sering terjadi.
Sebenarnya dalam masalah banjir ini, pemerintah tidak bisa menumpukan kesalahan hanya kepada masyarakat karena penyebab banjir tidak hanya dari luapan air sungai, tapi juga dari buruknya tata ruang wilayah dan sistem drainase. Sementara terjadinya luapan air sungai jika diamati, faktor penyebab utamanya adalah pendangkalan sungai. Bukan semata-mata karena penumpukan sampah. Fakta pendangkalan ini nyaris terjadi di seluruh sungai yang ada.
Problem ini akan selesai jika penanggulangannya secara integral dan menyeluruh dari hulu sampai hilir. Ini seharusnya menjadi tanggungjawab negara sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Namun faktanya, saat ini karena negara menerapkan sistem Kapitalisme-Sekularisme, maka penanggulangan permasalahan ini lebih banyak wacananya daripada pelaksanaannya karena kenyataannya pemerintah sangat lambat dalam menangani masalah banjir ini padahal masalah banjir ini sudah sangat sering terjadi. Penanganannya hanya bersifat sesaat atau kondisional saja.
Berbeda halnya dalam pandangan Islam yang bisa memberikan solusi yang solutif. Untuk mengatasi banjir dan genangan, negara Islam tentu saja memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pascabanjir.
Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut, yaitu membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air , dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Jika tidak memungkinkan, negara akan mengevakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka. Negara membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman.
Secara berkala, negara mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, negara juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau. Negara juga membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, negara membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan sebagai berikut, yaitu pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus me nyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Negara menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Negara juga menetapkan kawasan hutan lindung dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Negara terus-menerus mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Ketetapan ini didasarkan ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.
Ketiga, negara akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Beberapa solusi di atas merupakan kebijakan negara yang menerapkan syari’at Islam dalam mengatasi masalah banjir. Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga didasarka pada nash-nash syara’. Kebijakan ini hanya bisa diterapkan dalam bingkai sistem Khilafah Islamiyah. Untuk itu, marilah kita bersama senantiasa bersemangat dan istiqanmah dalam berjuang demi tegaknya syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab.