Oleh Rianny Puspitasari
Pendidik
Indonesia adalah negara agraris, di mana pertanian yang subur begitu melekat dengan image negeri ini. Sebagai salah satu negara penghasil beras, sawah adalah hal utama yang menjadi media tempat menanam padi. Namun apa jadinya jika sawah yang sangat tergantung dengan aliran air tidak mendapatkan pasokan debit air yang cukup? Tentu hal ini akan menyebabkan sawah-sawah tersebut gagal panen atau puso. Itulah yang menimpa desa Malakasari, Bojong Malaka dan Andir di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Tidak tanggung-tanggung, sawah yang terdampak diperkirakan sekitar lebih dari 200 hektare. Adapun penyebabnya adalah pembangunan tembok penahan tanah (TPT) yang merupakan proyek pemerintah. Pembangunan ini mengakibatkan irigasi Ciherang yang melintasi sejumlah desa tidak lagi teraliri air. (Jurnal Soreang, 3/10/21)
Otomatis akibat pembangunan TPT, para petani mendapatkan kerugian yang tidak sedikit, materil dan immateril. Apa yang sudah ditanam tidak bisa dipanen, selanjutnya mata pencaharian pun ikut hilang. Dari mana lagi mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak mudah beralih profesi di tengah sempitnya lapangan kerja. Seandainya pemerintah tidak memberikan bantuan sebagai kompensasi, kesulitan hidup bagi para petani terdampak sudah di depan mata.
Seyogyanya proyek pembangunan apalagi oleh pemerintah, harus memperkirakan terlebih dahulu resiko yang mungkin terjadi. Perencanaan yang matang dengan memperhatikan kondisi rakyat dan lingkungan mesti menjadi perhitungan sebelum melaksanakan proyek. Semaksimal mungkin menghindari dampak buruk dan melakukan tindakan preventif agar rakyat tidak menjadi pihak yang dirugikan.
Andaikan pembangunan TPT itu mendesak, semisal bagi keamanan masyarakat di masa mendatang, hal tersebut mesti melibatkan warga setempat untuk dimusyawarahkan. Agar warga bisa menyampaikan keluhan atas kesulitan pasca pembangunan dan membicarakan solusinya. Hak warga tidak dibenarkan dihilangkan begitu saja tanpa ada kompensasi baik dari sisi kerugian materi maupun jaminan mata pencahariannya. Posisi pemerintah adalah pihak yang bertanggung-jawab terhadap keberlangsungan hidup rakyatnya, bukan malah menzaliminya dengan memutus mata pencahariannya.
Inilah realitas hidup di sistem kapitalisme. Hak rakyat dilindungi baru seputar wacana, jauh dari kenyataannya. Pengerjaan proyek yang asal-asalan dan tidak memandang dampak buruk yang mungkin terjadi seolah menjadi tabiat penguasa di sistem ini. Proyek perumahan, kereta api cepat, kawasan industri, dan yang lainnya, menjadi contoh hilangnya ribuan hektar lahan pertanian dan menyebabkan banjir semakin meluas. Lagi-lagi rakyat menjadi korban. Pandangan hanya terfokus pada pundi-pundi materi yang akan didapatkan tanpa peduli dengan penderitaan rakyat.
Kapitalisme sebagai sistem hidup yang berasaskan materi hanya akan melahirkan penguasa yang sangat peduli dengan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Bagaimana tidak, untuk menjadi pejabat atau penguasa pun mereka harus mengeluarkan ‘modal’ yang tidak sedikit. Maka tidak heran ketika mereka menduduki jabatan, yang ada di benak mereka adalah bagaimana mendapatkan ‘laba’ dari modal yang sudah dikeluarkan. Adapun kepentingan rakyat, itu menjadi nomor sekian. Begitulah sistem hidup buatan manusia, cacat dan merugikan. Banyak rakyat yang melarat karena pandemi, sementara kekayaan pejabat meningkat berlipat-lipat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia. Begitu utuh dan menyeluruh. Berkaitan dengan irigasi pertanian, daulah memberikan perhatian penuh dengan membangun berbagai kanal yang disertai dengan teknologi terbaru. Berkat perhatian daulah terhadap irigasi pertanian, kota-kota Islam di era keemasan tidak pernah mengalami kekurangan suplai air, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk pertanian serta perkebunan.
Caranya adalah dengan memperluas sistem irigasi, membangun kanal-kanal air, juga mengembangkan berbagai teknologi seperti peralatan pengangkat air, cara penyimpanan, pengangkutan juga distribusi air. Dalam proses pembangunan atau jika ada proyek pembangunan, daulah akan memperhatikan jangan sampai ada kerugian yang berdampak pada pihak manapun. Sehingga daulah akan merencanakan dengan matang setiap hal yang akan dilakukan berkaitan dengan kepentingan umat. Pembangunan ditujukan demi memberikan kemudahan dan pelayanan bagi umat bukan yang lain.
Semua ini dilakukan karena kesadaran penguasa bahwasannya mereka memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi hak masyarakat dan kelestarian alam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang menjadi spirit ruhiah bagi pemimpin atau penguasa dalam Islam:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Penjagaan dan perlindungan atas hak rakyat menjadi tanggung jawab negara dalam keberlangsungannya. Bukan hanya penguasa terhadap rakyat, begitupun antar individu masyarakat. Tidak boleh saling menyulitkan, menyakiti, dan menzalimi, Andaikan ada warga ataupun pejabat yang terbukti melakukannya maka sanksi tegas akan diberlakukan tanpa pandang bulu. Negara membina masyarakat atas dasar akidah Islam. Begitulah sistem Islam yang luar biasa, perlindungan terhadap rakyat bukan hanya sekedar kata dan wacana, tapi dalam bentuk aksi nyata. Maka apa lagi yang masih kita ragukan dalam penegakan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita? Tentu hal ini menjadi renungan kita bersama.
Wallahu a'lam Bishawwab