Oleh : Eti Fairuzita*
Pemerintah memutuskan untuk mengimpor sebanyak 3,07 juta ton garam pada tahun ini. Ini karena kebutuhan 4,7 juta ton tidak bisa tercukupi dari garam lokal. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku garam bagi industri dalam negeri, di tahun 2021 telah disepakati alokasi impor komoditas pergaraman atau impor garam industri sebesar 3,07 juta ton (Kompas.com, 27/09/2021).
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengungkapkan alasan pemerintah membuka kembali impor garam sebanyak 3 juta ton pada tahun ini. Hal itu berkaitan dengan kuantitas dan kualitas garam lokal. Ia menjelaskan, pada dasarnya garam impor tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri. Menurut Mendag, kualitas garam lokal belum sesuai dengan yang dibutuhkan industri.
Nasib petani garam kian terpuruk akibat kebijakan impor garam yang ditempuh pemerintah. Produksi garam dalam negeri tidak diserap. Pada awal Januari 2021 saja, ada sisa sekitar 800 ribu ton stok garam petani yang tidak terserap. Hal itu dikarenakan pemerintah lebih cenderung mengandalkan impor.
Impor garam tersebut bagai paradoks di tengah stok garam nasional yang menumpuk di sejumlah sentra produksi garam. Hal itu berakibat anjloknya harga garam petani. Bukankah Indonesia memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia (54.716 km), tetapi mengapa tak mampu memanfaatkan potensi alamnya?
Sejatinya keputusan impor garam bertentangan dengan pernyataan presiden. Bukankah beberapa tahun lalu, Jokowi pernah melontarkan bahwa Indonesia bisa melakukan swasembada garam? Namun, mengapa impor selalu kembali dilakukan?
Sungguh ironis. Hal ini menunjukan bahwa swasembada hanyalah wacana semata. Target bombastis yang dicanangkan oleh pemerintah terkait Indonesia bisa terbebas dari impor garam pada 2015, kian padam dan tanpa harapan. Indonesia justru masih dibanjiri impor garam. Petani garam harus mati-matian berjuang. Nasib suram masih terus membayangi kehidupan mereka. Tentu saja efek jangka panjang yang akan terjadi jika impor garam terus dilakukan adalah hilangnya pencaharian para petani garam.
Menyoroti hal ini, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Putut Indriyono dalam siaran pers pada Maret lalu pernah mengkritik kebijakan membuka impor garam tersebut. Pemerintah terkesan belum memiliki desain pengembangan industri garam nasional yang di dalamnya seharusnya berisi strategi komprehensif.
Menurutnya, pemerintah saat ini cenderung mengambil kebijakan impor dengan hanya merespons kecenderungan permintaan pasar. Sebaliknya, pemerintah dianggap tidak melihat dari sisi strategi pengembangan industri garam nasional jangka menengah dan panjang.
Pemerintah seharusnya memiliki data yang valid soal kebutuhan garam dan memperhatikan kesejahteraan petani garam. Angka kebutuhan garam setiap tahun seharusnya sudah diprediksi tonasenya sehingga ada target pengurangan impor dari tahun ke tahun yang diikuti dengan target kebijakan produksi dari dalam negeri. Hingga saat ini pemerintah belum memiliki desain kebijakan pengembangan garam nasional yang jelas, maka persoalan kebijakan impor garam akan terus berulang (Republika.co.id, 16/03/2021).
Berbagai macam alasan klasik yang sering dilontarkan pemerintah terkait impor garam, sebenarnya bisa diantisipasi dengan melakukan berbagai macam riset dan tindakan preventif. Permasalahannya, adakah kemauan politik (political will) dari negara? Jika negara mau serius peningkatan kualitas garam dalam negeri bisa dilakukan. Misalnya saja, negara melakukan pemetaan potensi serta peluang produksi garam. Dipetakan wilayah garis pantai mana saja yang cocok untuk dijadikan lahan garam.
Fasilitas dan teknologi mutakhir mesti diberikan kepada para petani, disertai dengan pembekalan karena masih banyak petani garam menggunakan teknologi tradisional dan bergantung pada cuaca.
Selain itu, harus hentikan privatisasi sumber daya alam. Sebagaimana hari ini kita lihat, negara belum berperan penuh untuk meningkatkan kualitas dan produksi garam. Akhirnya, potensi-potensi yang ada tidak terkelola.
Terlepas dari permasalahan teknis distribusi dan produksi, logika neoliberalisme pun menjadi dalang di balik kezaliman pemerintah ini. Pemerintah menganut sistem mekanisme pasar bebas. Hal itu ditandai dengan banyaknya sektor ekonomi (yang menguasai hajat hidup orang banyak) dikuasai oleh swasta. Pemerintah melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi, termasuk urusan garam. Pengaturan garam dikendalikan korporasi (produsen, investor besar, importir dan distributor).
Peran negara amat penting untuk membangun kemandirian dan membentuk kedaulatan akan garam. Jika solusi pengelolaan didasarkan pada logika neoliberalisme dan sistem kapitalisme, tentu tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada hanyalah menguntungkan pihak-pihak korporasi saja. Maka dari itu, jika ingin bebas dari impor dan bisa mandiri, maka harus beralih pada tata kelola garam yang berbasis syariat.
Dalam politik ekonomi Islam, negara bertugas dan bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi, mencegah terjadinya setiap kezaliman serta menindak para pelanggar hukum di bidang ekonomi. Negara hadir sebagai pelayan dan perisai umat.
Dengan prinsip-prinsip shahih ekonomi Islam, negara Islam memerinci perencanaan yang matang, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Penyediaan sarana-prasarana penunjang wajib ada disertai pembekalan edukasi. Negara akan benar-benar memastikan pemenuhan kebutuhan rakyat bisa terealisasi.
Islam tidak mengharamkan impor secara mutlak. Aktivitas impor tetap bisa dilakukan. Hanya saja, impor dipahami sebagai bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikuti syariat Islam dan mengedepankan kemaslahatan umat. Ketika kebijakan impor diambil, maka harus memperhatikan status negara pengimpor dan status hukum barang serta tentunya keputusan diambil berdasarkan pandangan khalifah sebagai pemimpin negara bukan karena adanya intervensi dari pihak mana pun.
Islam merupakan jawaban terhadap permasalahan impor garam yang terus terulang. Potensi ekonomi Islam sebagai alternatif sistem ekonomi di tengah kegagalan rezim merupakan suatu keharusan. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al Anfaal: 24)
Oleh karenanya menegakkan khilafah, menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan merupakan sebuah keharusan yang tak dapat ditunda lagi demi terciptanya kesejahteraan.
Wallahu a’lam bish-sawab.
Ilustrasi Mbdrive.gettyimageskorea
*(Menulis Asyik Cilacap)
Tags
Opini