Oleh: Tri S, S.Si
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memutuskan untuk membuka keran impor garam pada 2021 ini sebesar 3,07 juta ton (cnnindonesia.com, 24/9/2021). Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita juga menegaskan bahwa dari jumlah kebutuhan garam nasional, sebanyak 84 persen di antaranya merupakan peruntukan sektor industri dengan kebutuhan garam antara lain khlor dan alkali, yang menghasilkan produk-produk perokimia, pulp, dan juga kertas. Ia menyebutkan, kebutuhan bahan baku garam industri untuk sektor ini mencapai 2,4 juta ton per tahun (money.kompas.com, 27/9/2021).
Padahal, menurut catatan Kementrian Kelautan dan Perikanan(KKP), Indonesia punya lahan garam seluas 27.047,65 ha. Seluas 22.592,65 ha dimiliki oleh petambak garam yang jumlahnya mencapai 19.503 orang. Sisanya yang 4.455 ha lainnya milik PT Garam, BUMN yang bergerak di bidang bisnis garam (cnbcindonesia.com, 13/1/2021).
Jika pada faktanya luas lahan garam kita begitu besar, mengapa masih impor? Agus menjelaskan alasan impor garam adalah karena kualitas garam yang belum memenuhi standar industri, sehingga tidak mungkin mematikan sektor industri hanya karena tidak memiliki bahan baku yang cukup. Selain itu, adanya penyusutan lahan garam, minimnya intervensi teknologi, faktor lingkungan dan kebijakan pemerintah juga membuat impor garam jadi tak terbendung. Karena faktor tersebut laut Indonesia yang luas tak menjamin produksi garam melimpah (cnbcindonesia.com, 13/1/2021).
Bagai Jatuh tertimpa tangga, petani garam akan menanggung kerugian besar akibat kebijakan impor ini. Sejak 2019, garam produksi petani lokal tidak terserap secara optimal dan jumlah penumpukannya mencapai 1,9 – 2 juta ton (kompas.com, 16/1/2020). Jika pemanfaatannya bisa optimal, tentu akan mengurangi jumlah impor dan akan berefek pula pada kesejahteraan petani. Anjloknya harga sampai pada titik terendah yaitu Rp100-200/kg (money.kompas, 24/3/2021) bahkan garam yang terus menumpuk tak laku (merdeka.com, 24/3/2021).
Fakta ini sudah nyata makin memiskinkan dan menambah kesengsaraan mereka. Dengan harga semurah ini jangankan menutupi biaya produksi, untuk membayar upah buruh angkutnya saja pun tidak cukup. Sementara usaha tambak garam ini merupakan mata pencaharian utama bagi mayoritas petani garam.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM Putut Indriyono (16/3/2021) menyayangkan rencana kebijakan pemerintah untuk membuka impor garam dan menilai kebijakan tersebut bersifat reaktif jangka pendek dan tidak konstruktif. Pemerintah tidak melihat sisi strategi pengembangan industri garam nasional jangka menengah dan panjang, cenderung mengambil kebijakan ‘potong kompas’ impor dengan hanya merespons kecenderungan permintaan pasar. “Setiap kali pemerintah membuka impor garam, selalu tanpa jawaban kepastian bahwa tahun depan tidak dilakukan kebijakan yang sama,” tegasnya (muslimahnews.com, 17/3/2021).
Hal ini dibuktikan dengan minumnya dukungan, fasilitas ataupun bantuan kepada petani lokal. Baik dalam permodalan atau pengadaan teknologi untuk peningkatan kapasitas produksi mereka. Seperti keluhan petambak garam di Cirebon yang tidak mampu membeli teknologi geomembran. Padahal untuk meningkatkan kualitas garam lokal menjadi standar industri hanya membutuhkan penambahan sedikit teknologi lagi (kompas.com, 16/1/2020). Pemerintah mencukupkan dengan kerja sama inti plasma untuk menaikkan derajat ekonomi petani yang sejatinya bentuk penguasaan korporasi atas petani.
Keberadaan BUMN PT. Garam pun tak mampu menjadikan solusi tuntas. Alih-alih mengangkat ekonomi petani lokal, PT. Garam tak ubahnya hanya sebagai perusahaan yang mencari untung belaka, yang akhirnya tetap lebih suka membeli garam impor karena harganya lebih murah (tirto.id, 21/8/2020) dan kualitas sesuai standar industri dibanding garam lokal.
Sejatinya, haruslah disadari bahwa akar permasalahan pengelolaan garam di Indonesia ini adalah penerapan konsep neoliberalisme. Sistem ini yang melucuti peran pemerintah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Bahkan, sering pemerintah membuat regulasi yang justru mementingkan kemaslahatan korporasi. Akhirnya pengaturan garam dikendalikan oleh korporasi, yakni investor besar, importir, dan distributor. Inilah logika cacat dari neoribelasime yang merupakan turunan dari ideologi kapitalisme demokrasi.
Sebaliknya, dalam sistem Islam, seorang Khalifah (pemimpin negara) harus mengedapankan prisnsip sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Dan dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya…”(HR Muslim). Pemimpin negara dalam sistem Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam, serta sistem kehidupan lainnya yang pasti akan menjamin keselamatan rakyat dan terpenuhinya fasilitas pokok rakyat, termasuk dalam bidang ekonomi dan pangan. Dalam hal ini negara harus hadir dalam segala aspek aktivitas ekonomi, mulai produksi, distribusi, dan konsumsi sehingga mampu memenuhi hajat rakyat dan keberlangsungan usaha petani garam, serta kebutuhan garam seluruh rakyatnya.
Karenanya dalam mengatur sektor produksi akan menjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung impor serta berdampak pula pada kesejahteraan petaninya. Di antaranya Islam mendorong para petani untuk maksimal meningkatkan produksinya. Dukungan ini dapat berbentuk edukasi dan pengetahuan, pengembangan teknologi, bantuan modal dan sarana produksi bagi petani yang tidak mampu, termasuk infrastruktur pendukung lainnya.
Sementara di aspek distribusi, Islam akan melakukan pengawasan secara terus menerus agar terbentuknya keseimbangan harga secara alami. Di samping itu akan menghilangkan semua kondisi dan pihak-pihak yang menyebabkan harga terdistorsi seperti pelaku kartel, atau penimbunan stok oleh distributor besar (muslimahnews.com, 24/01/2020).
Islam tidak akan melakukan intervensi harga dengan penetapan HET atau HPP karena bertentangan dengan syariat Islam dan berpotensi menimbulkan black market. Hal ini disertai dengan penegakan hukum sanksi yang jelas dan tegas.
Maka dari itu, hanya dengan Islam negeri ini akan tuntas menyelesaikan segala macam persoalan yang kini terasa pelik ini. Di samping itu, ketika kita semua tunduk pada aturanNya, maka Allah akan menurunkan berkahnya dari langit dan bumi, seperti yang telah Allah janjikan dalam QS. Al-A’raf ayat 96.