"ASA Guru Honorer" Yang Terjebak Dalam Topeng Kapitalis




By : Yenni Widiastuti

Pada kesempatan Ini saya akan membahas tentang nasib seorang guru honorer diera sistem kapitalis sekarang ini,sebelum saya sampai pada pemaparan,saya teringat sepenggal lirik lagu yang cukup populer mengenai gambaran seorang guru."Guruku tersayang,guruku tercinta,tanpamu apa jadinya aku.Tak bisa baca tulis,mengerti banyak hal,guruku terimakasihku"Guru adalah orang yang berjasa dalam kehidupab kita.tanpa mereka kita tidak bisa mengetahui banyak hal.

Sempat viral beberapa hari yang lalu kisah seorang guru honorer yang berusia 57 tahun yang gagal lolos tes seleksi PPPK ( Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja ).

Kisah tersebut dibagikan oleh seorang pengawas ruangan tempat mengikuti test seleksi,yang kemudian menulis surat terbuka untuk Mendikbud Nadiem Makarim aMentring biasa disapa Mas Mentri.

Seorang guru honorer tersebut menjalani test untuk menjadi guru dengan status PPPK dari kabupaten Tulung agung,Jawa Timur.

"Yang terhormat, Mas Menteri, Nadiem Makarim. Tak ada rasa ngilukah di dalam dada mas menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini?" tulis wanita tersebut mengawali suratnya, dikutip Suara.com, Kamis (16/9/2021).

"Tahun ini Mas Menteri memberikan secercah harapan untuk beliau. Program PPPk untuk memberikan harapan kehidupan yang lebih layak," tulisnya.

Dinyatakan tak lolos seleksi

Sayangnya, guru honorer harus gagal di tahap tes berbasis komputer. Dijelaskan oleh pengawa ruang bahwa pria tersebut tak mencapai ambang batas yang ditetapkan untuk peserta agar bisa lolos ke tahap selanjutnya.

"Tetapi tahukah Mas Menteri? Soal-soal yang Mas Menteri berikan hanya teori belaka saja. Tak sebanding dengan praktik pengabdian berpuluh-puluh tahun lamanya," lanjutnya.

"Akhirnya passing grade pun tak diraih. Pecahlah tangis beliau dalam hati. Terlihat jelas ketika nilai-nilai itu terpampang di layar monitor, beliau terdiam seribu bahasa," lanjutnya lagi.

Wanita bernama Novi Khasiffa itu lantas memohon kepada Nadiem Makarim untuk memberikan keringanan pada guru honorer tersebut dalam proses seleksi ini.

"Beliau mempunyai andil yang besar dalam membangun negeri tercinta ini. Sudi kiranya Mas Menteri memberikan keringanan untuk melihat beliau bisa menikmati masa tua dengan sepatu dan kehidupan yang layak," tulis wanita itu.

"Tak usah diperumit, jika tidak ada kebijakan untuk mengangkat derajat mereka, setidaknya di surga besok sepatu ini akan menjadi saksi bahwa ilmu yang beliau ajarkan sangat bermanfaat untuk keberlangsungan umat," lanjutnya lagi.

Ia mengaku menulis surat terbuka itu sambil berurai air mata teringat raut kekecewaan guru honorer saat melihat hasil tes di layar ni komputer.

"Dari saya Novi Khassifa, pengawas ruang PPPK. Ditulis dengan berurai air mata," pungkasnya.dan saya yang membacanya juga berurai air mata.

Ini bukan kompetisi untuk kompeten

Pelaksanaan ujian seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) guru honorer. Guru PPPK adalah guru bukan PNS yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas mengajar.

Membaca kisah perjuangan para guru honorer ini, rasanya tak ada yang tak meringis bahkan menitikkan air mata, menyimak berbagai cerita seputar pelaksanaan seleksi PPPK yang begitu menyentuh. Mereka yang bermukim di pelosok, harus menempuh perjalanan jauh yang penuh rintangan.

Cucuran keringat dan derai air mata pun mewarnai kisah mereka mengikuti seleksi PPPK. Meski penuh rintangan, guru honorer ini harus berjuang demi mendapatkan pengakuan negara sekaligus memperbaiki nasib, meski sebatas pegawai pemerintah berstatus kontrak.

Tak sedikit dari mereka telah memasuki usia senja. Saat mengikuti seleksi PPPK, beberapa dari mereka harus dipapah, tertatih-tatih memasuki ruangan. Sistem ujian berbasis online pun turut menjadi kendala, khususnya bagi mereka yang notabene imigran digital.

Mata yang telah rabun membuat mereka sulit mengeja soal yang panjang nan melelahkan mata. Tangan mereka bahkan gemetaran menyentuh mouse. Wajah-wajah itu mendadak sayu saat melihat hasil yang tak mencapai passing grade.

Pupus sudah harapan mencerdaskan generasi. Sementara di rumah mereka, keluarga menanti harap-harap cemas atas perbaikan nasib lewat jalur seleksi PPPK.

Puluhan tahun mengabdi, nasib mereka dipertaruhkan dalam ujian seleksi ini. Meski selama ini mereka digaji hanya berkisar 200 hingga 300 ribu per bulan, dapat dipastikan mereka telah mencetak anak didik berprestasi dan membanggakan.

Sungguh sayang, sematan “pahlawan tanpa tanda jasa” seolah nyanyian pelipur lara. Sang pahlawan yang perannya sangat strategis untuk mewujudkan cita-cita bangsa, harus menjadi korban sistem pendidikan minus visi.

Kebijakan Setengah Hati
Realitasnya, kebijakan PPPK bagi guru honorer adalah kebijakan setengah hati yang lahir dari kebijakan miskin visi. Alih-alih jadi harapan, PPPK justru memupus niat baik para guru untuk turut mendidik generasi bangsa.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sendiri menemukan beberapa kendala selama proses seleksi PPPK Guru 2021 berlangsung. Mulai dari kecemasan guru akibat penyampaian informasi yang kurang optimal, hingga soal tes yang dirasa sulit, berbeda saat bimtek.

Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim, mengungkap ada setumpuk kendala yang dialami para guru honorer selama proses seleksi berlangsung. Kendala itu antara lain mengenai kebutuhan formasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu, ada nilai ambang batas (passing grade) yang terlalu tinggi, kebijakan afirmasi yang tidak adil, hingga sistem administrasi dan kendala mekanisme ujian lainnya.

Memang, perekrutan satu juta guru melalui seleksi PPPK ini dianggap angin segar bagi para guru honorer. Meski untuk diangkat menjadi PPPK, para guru tenaga honorer harus mengikuti tahap ujian seleksi menjadi guru pada 2021 terlebih dulu.

Seleksi ini terbuka bagi guru honorer kategori 2 (THK-2) yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.

Merujuk data Kemendikbud, pada 2020 terdapat 72.976 guru pensiun. Dengan jumlah tersebut, kekurangan guru ditaksir mencapai 1.020.921 orang. Hingga pada 2024, kekurangan guru diprediksi mencapai 1.312.759 orang.

Jika dibandingkan jumlah guru PNS dengan non-PNS, hampir sebagian besar masih berstatus honorer. Pada 2020 saja, guru non-PNS jumlahnya mencapai 937.228 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 728.461 masih berstatus guru honorer sekolah.

Melihat hal ini, sesungguhnya amat besar kebutuhan rakyat terhadap guru. Sudah selayaknya negara membuka penerimaan guru tanpa embel-embel kontrak. Sebab selain menggantung nasib para guru, negara juga tak serius memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan.

Bukankah pendidikan adalah kebutuhan asasi rakyat? Lebih jauh lagi, pendidikan memiliki peran besar dalam membangun peradaban. Inilah kelemahan sistem sekuler kapitalisme saat ini, tidak memiliki visi mencerdaskan generasi, gagap memaknai perkembangan teknologi, visi pendidikan mencetak generasi seolah hilang arah.

Lantas, bagaimana Islam mendudukkan peran guru dalam membangun peradaban?

Peran Strategis Guru dalam Membangun Peradaban
Pada setiap peradaban, hal terpenting dan strategis untuk disiapkan dalam menjaga keberlanjutannya adalah menyiapkan generasi. Bangsa yang visioner akan mendudukkan proses pendidikan generasi dalam langkah strategisnya.

Sektor pendidikan merupakan sektor yang diandalkan untuk melahirkan generasi. Dalam proses inilah, pendidikan dan generasi saling berkaitan dalam membangun peradaban. Mendidik generasi membutuhkan guru yang tidak hanya kapabel dan menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memahami peran strategis pendidikan untuk keberlanjutan peradaban.

Visi pendidikan sendiri sesungguhnya ditentukan oleh sistem dan tata aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Islam, guru memiliki tugas yang mulia dan strategis yakni mencetak output berkualitas.

Mendidik bukan sekadar mentransfer ilmu. Lebih dari itu, mendidik adalah upaya guru mentransfer visi, hingga anak didik memahami bahwa ilmu yang mereka dapatkan harus dimanfaatkan untuk kebangkitan umat. Di sinilah pentingnya merumuskan kurikulum yang berbasis akidah. Dalam sistem pendidikan Islam, hal yang tak kalah penting adalah kurikulum.

Pada setiap fase usia dan tingkat sekolah anak didik, mereka akan ditanami akidah yang kukuh hingga diperkenalkan ilmu pengetahuan umum. Sehingga, ketika proses pendidikan selesai, peserta didik dapat memahami secara utuh bahwa ilmu yang didapatkan akan dimintai pertanggungjawaban.

Anak didik pun harus memahami bahwa ilmu tersebut tidak sekadar berdimensi dunia, tetapi juga berdimensi akhirat. Inilah pencapaian tertinggi seorang guru.

Pentingnya Dukungan Infrastruktur
Lantas, bagaimana peran teknologi dalam penyelenggaraan pendidikan? Teknologi sendiri adalah tools (alat) yang membantu proses penyelenggaraan pendidikan. Sebagai alat, teknologi adalah bagian dari infrastruktur yang memudahkan rakyat mengakses pendidikan, juga memudahkan guru menjalankan proses pengajaran.

Membangun infrastruktur berbasis teknologi harus dilakukan secara merata, hingga seluruh yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat memahami prosesnya.

Sistem pemerintahan Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan asasi rakyat, karenanya negara wajib menyediakan seluruh perangkat pendukung dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, termasuk memenuhi kebutuhan akan guru.

Negara wajib mencukupi kebutuhan rakyat terhadap guru hingga ke pelosok. Negara juga wajib membangun infrastruktur secara merata dari pusat hingga ke daerah. Dengan demikian, ketimpangan penyelenggaraan pendidikan tidak akan terjadi karena negara memahami kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya individu per individu.

Dukungan Sistem Ekonomi dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Problem sistem pendidikan saat ini adalah adanya ketimpangan pembangunan pusat dan daerah, sehingga kualitas pendidikan pusat dan daerah berbeda. Sebab, pembangunan infrastruktur tidak merata. Minimnya dana adalah faktor utamanya.

Dalam sistem Islam, penyelenggaraan pendidikan berikut pembangunan sarana prasarana yang mendukung pendidikan ditopang oleh sistem ekonomi berbasis baitulmal. Sumber-sumber dana baitulmal tidak hanya cukup mendanai pembangunan infrastruktur, tetapi juga cukup digunakan untuk menggaji para guru.

Sistem pendidikan yang ditopang ekonomi yang kuat tidak akan menggantung nasib guru dengan status kontrak kerja. Sebab sejatinya, dalam pemerintahan Islam, guru adalah pegawai negeri. Mereka berhak mendapatkan gaji dari bakti mereka mendidik umat.

Jika sistem kapitalisme saat ini masih menggantung nasib guru honorer dengan gaji seadanya, sebaliknya, masyhur dalam lembaran sejarah pada masanya, Khalifah Umar bin Khaththab menggaji guru sebanyak 15 dinar atau setara 63,75 gram emas. Ini menggambarkan penghargaan negara atas peran strategis guru.

Menjaga Kualitas Guru dan Memuliakan Mereka
Lalu bagaimana perlakuan negara kepada para guru yang telah memasuki usia senja? Memang, berkurangnya fungsi-fungsi fisik tubuh adalah perkara manusiawi. Seperti berkurangnya ingatan, pendengaran, ataupun penglihatan, semua itu adalah hal yang manusiawi. Maka, negara akan senantiasa mengevaluasi dan memperbaharui kondisi para gurunya, semata-mata untuk memastikan penyampaian kualitas pendidikan dan kesahihan sumber-sumber ilmu yang diajarkan.

Negara juga dapat melakukan ujian kepegawaian, dan ini sah-sah saja selama berkaitan dengan pekerjaannya. Sebagaimana dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab yang menguji kemampuan Ammar bin Yasir untuk mengurus wilayah Kufah. Kala itu, Umar memecat Ammar karena melihat kurangnya pengetahuan Ammar di bidang itu.[1]

Namun, negara akan tetap memenuhi kebutuhan para guru meski sudah berusia senja dan tidak lagi mampu mengajar. Hal ini adalah bentuk penghargaan kepada para guru, pun sebagaimana negara memenuhi kebutuhan rakyatnya individu per individu dengan pemenuhan yang sempurna. Seperti pada masa Umar bin Khaththab dahulu yang memberlakukan sistem tunjangan sesuai jasa yang diberikan.

Inilah wujud nyata hadirnya negara. Tidak hanya memuliakan guru sebagai ahli ilmu, tetapi juga memenuhi kebutuhan mereka secara manusiawi dalam rangka membangun peradaban Islam.

Pendapat lainnya
Menurut Pendidik Generasi Haritsan Aminan Lil Islam Sri Wahyu Indawati. MPd, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan nasib guru honorer. Karena jika diperhatikan di sekolah-sekolah, sangat memerlukan tenaga guru.

Sementara jumlah PNS guru, tidak mencukupi untuk memenuhi pelayanan pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.

Dijelaskan, guru merupakan tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan generasi di lingkungan sekolah. Tanpa guru, apalah jadinya dunia pendidikan sehingga peran guru tak dapat dipisahkan dari aktivitas pembalajaran.

Untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, maka perlu penempaan di dunia pendidikan. Profesi yang tepat untuk melakukan hal tersebut adalah guru.

Tentunya dibalik kewajiban dalam menjalankan amanah tersebut, harus diiringi dengan pemenuhan hak yang setara dengan tanggung jawab besar.

"Selama ini kacamata pendidikan dalam sistem kapitalisme-demokrasi hanya memandang sebelah mata peran guru honorer. Dengan gaji yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih, untuk meningkatkan intelektualitas dan membentuk akhlak mulia pada peserta didik," katanya sebagaimana ditulis Pontianakpost.com.

Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak.

Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.

"Tidak heran di masa Khilafah dijumpai banyak generasi cerdas dan shaleh. Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dapat dinikmati tanpa beban biaya yang besar," cetusnya.

Kenapa bisa seorang guru memiliki gaji sebesar itu? Mungkin orang awam akan berfikir bahwa hal tersebut mustahil.

Dalam pemahaman pragmatis, setiap yang bermutu pasti mahal. Tapi, tidak bagi sistem Khilafah yang menerapkan syariat islam secara kaffah (total).

Hal tersebut terbukti selama 13 abad mampu menjamin kesejahteraan guru dan murid.

"Inilah Islam, ketika diterapkan secara kaffah maka rahmatnya akan dirasakan oleh seluruh makhluk," ucapnya.

Selama masih diterapkannya sistem bobrok kapitalisme-demokrasi, maka tidak akan pernah merasakan pendidikan yang bermutu dan murah.

"Apalagi ingin mencapai kesejahteran guru, itu adalah hal yang mustahil bagi guru honorer," bebernya.

Dia mengajak agar kembali pada sistem yang diturunkan Allah Swt yaitu Khilafah 'ala minhaj an-nubuwah.

"Sistem yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang bertakwa pada Allah dan berani, menerapkan syariat Islam secara total. Wallahu'alam biash-shawab," katanya.

#Hasil Copas#
#Semogah Bermanfaat Bagi Yang Membacanya#

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak