Oleh Lulu Nugroho
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) mulai luput dari perhatian masyarakat, seiring dengan silih bergantinya peristiwa politik yang bergerak di tengah kehidupan. Bagaimanakah kabarnya? Berlanjutkah pembangunannya atau terhenti? Pasalnya terjadi (cost overrun) pembengkakan menjadi 8 miliar dolar AS atau setara Rp114,24 triliun, dari yang semula direncanakan hanya 6,07 miliar dolar AS atau setara dengan Rp86,5 triliun.
Beberapa ekonom senior telah menyoroti proyek yang ditengarai telah bermasalah sejak awal. Enam tahun lalu, para pakar telah mencegah penyediaan moda transportasi yang satu ini, sebab dianggap tidak mendesak. Banyak alternatif kendaraan bisa digunakan menuju Bandung sehingga tak perlu membuat yang baru.
Perubahan biaya dan harga, serta masalah pembebasan lahan, menyebabkan anggaran membengkak. Maka seyogianya pemerintah berpikir ulang terhadap pengadaan proyek ini, terlebih lagi terhadap rencana mengajukan penambahan utang.
Sebab perekonomian negara akibat terpapar pandemi COVID-19, sangat sulit. Hal ini berpengaruh secara signifikan pada kehidupan masyarakat. Maka negara lebih dibutuhkan kehadirannya di setiap persoalan dan memberikan solusi sahih, ketimbang menghabiskan dana untuk sebuah proyek yang tidak mendesak kebutuhannya.
Karenanya akan berakibat fatal jika proyek KCJB ini dilanjutkan. Dengan beban utang berbasis ribawi, masa depan bangsa ini akan tergadai. Tanpa perencanaan yang matang, maka pembiayaan proyek ini benar-benar akan terbuang sia-sia.
Sementara setiap sen harta umat, harus dikembalikan pada yang empunya. Penguasa kelak, harus mempertanggungjawabkan seluruh amanah yang diberikan kepadanya. Sebab sejatinya kekuasaan yang mereka emban, diberikan Allah untuk dijalankan sesuai syariat Islam.
Akan tetapi sistem ekonomi kapitalis, membuat jalan para pemimpin oleng. Mereka hanya berpihak pada korporasi, sebab orientasi mereka beralih pada materi. Sehingga proyek yang disinyalir tidak urgen bagi rakyat pun tetap berlanjut, bahkan meski menguras habis uang negara.
Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam membangun infrastruktur, yakni ditujukan untuk seluruh rakyat. Karenanya infrastruktur dibangun dalam bentuk fasilitas umum yang memudahkan masyarakat mengaksesnya. Selain itu yang termasuk dalam marafiq al jamaah misalnya listrik, air dan sejenisnya, begitu pula jalan raya, hasil laut, udara, pun harus disediakan kemudahannya oleh negara.
Jikapun harus membuat sebuah proyek infrastruktur, maka terlebih dahulu melalui pengkajian yang matang, apakah keberadaannya akan mendatangkan dharar atau tidak. Jika iya, maka tidak perlu diadakan. Jika dibutuhkan, agar membuat rakyat bisa beraktivitas maksimal dan semakin mendekatkan pada Allah, maka harus segera disediakan.
Islam juga mengatur pembiayaan proyek dengan mekanisme baitul mal, tidak melalui skema utang. Maka ketika proyek tersebut dibutuhkan mendesak sementara kas baitul mal kosong, dan bisa mengakibatkan terjadinya kerusakan pada masyarakat akibat ketiadaannya, maka pembangunannya menjadi tanggung jawab laki-laki muslim yang mampu saja. Tidak ada pajak yang membebani seluruh warga.
Negara juga akan melakukan proteksi beberapa harta yang merupakan kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang. Pengelolaan dilakukan oleh negara, tidak diserahkan pada kapital. Sedangkan hasilnya digunakan untuk membangun infrastruktur.
Sebagaimana dahulu nabi pernah memproteksi tanah an-Nafi' untuk menggembala kuda. Abu Bakar juga pernah memproteksi ar Rabdzah dan as Syaraf untuk mengembalakan unta zakat. Umar bin Khaththab menahan tanah Irak, Syam dan Mesir agar tidak menjadi ghanimah, tapi tetap sebagai kharaj, untuk membiayai kepentingan negara, pasukan, anak yatim, janda dan fakir miskin.
Bukti baiknya pengaturan Islam untuk membangun infrastruktur bisa disaksikan pada jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak, yang sudah beraspal sejak abad ke-8 Masehi. Sementara hal tersebut baru terjadi di Negara Eropa pada 10 abad kemudian yakni di abad 18.
Dengan sistem Islam, infrastruktur bisa dibangun lebih cepat dan mandiri, tanpa bergantung negara asing atau kekuatan global, yang rawan menjadikan sebuah negeri terjajah. Negara dipastikan akan berjaya dan bermartabat di bawah kendali kepemimpinan yang sahih yakni Islam. Wallahu 'alam bish showab.
Ilustrasi La vie zine
Tags
Opini