Tambah Utang Untuk Infrastruktur di Tengah Pandemi


Oleh : Ani Hadianti, SKM

Mantan Menpora Roy Suryo mengkritik keras salah satu kebijakan pemerintah; proyek kereta cepat yang di usung pemerintah Presiden Jokowi. Pasalnya penanganan pandemi menggunakan mindset ekonomi dibandingkan kesehatan.

Pemerintah, menurut Roy Suryo, telah gagal fokus dalam menangani pandemi, memilih sektor ekonomi ketimbang kesehatan sehingga kasus pandemi di Tanah Air meroket ke negara nomor 3 tertinggi di dunia (dalam kasus harian Covid-19).

“ Ironisnya pemerintah justeru menambah utang lagi ke Cina dan proyek-proyek Infrastruktur Tol yang selama ini jadi “jualan” harus Dijual beneran. Tetapi calon IBN masih jalan terus? Sementara Nakes yang meninggal sudah 1000 lebih? AMBYAR, “ Tulis Roy Suryo di akun Twitter-nya jum’at 9 Juli 2021(portonews,com.10/07/2021).

Infrastruktur merupakan roda penggerak ekonomi. Para ekonom berpandangan infrastrukturbsebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro, ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital. Adapaaun dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.

Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja.

Yang menjadi masalah dari pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah bertumpu pada hutang. Belum lagi berhadapan dengan masalah serius yang amat kompleks dan parah. Fakta paling parah adalah pembangunan infrakstruktur selalu dikelilingi praktik korupsi, banyak juga pembangunan infrakstruktur yang tidak tepat sasaran, ditambah lagi kondisi negeri kita saat ini di hadapkan pada pandemi yang belum berakhir, bahkan lebih parah dari kondisi pandemi beberapa bulan sebelumnya.

Tentunya perhatian terhadap kondisi pandemi yang harus didahulukan untuk diperhatikan, mulai dari kebutuhan pokok masyarakat yang dibatasi mobilitas keluar rumah, agar dapat menekan laju penularan, hingga kebutuhan fasilitas kesehatan baik untuk perlindungan Nakes, maupun untuk pengobatan pasien yang sudah terpapar.
Bukan malah mengabaikan kondisi pandemi, demi pemulihan ekonomi di masa pandemi. Justeru yang akan terjadi adalah pandemi semakin mengganas tetapi ekonomi semakin merosot.  

 Dalam sistem ekonomi Islam, infrstruktur yang masuk sebagai kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. 

Pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam dibagi menjadi 2 jenis: (1) infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh publik yang jika ditunda akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi publik; (2) infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat, tetapi tidak begitu mendeak dan masih bisa ditunda pengadaannya.

 Infrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana. Tidak dibolehkan pembangunan infrakstruktur tersebut dengan jalan hutang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi. 

Sebaliknya, infrastruktur kategori pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN  atau Baitul Mal, harus tetap dibangun. Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut secara maksimal. Namun, jika tidak mencukupi maka negara bisa memungut pajak (dharibah) dari publik. Jika waktu pemungutan dharibah memerlukan waktu lama, sementara infrastuktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharibah yang dikumpulkan dari masyarakat setelahnya. Namun terdapat batasan yang sangat jelas disini, pinjaman ini tiak ada unsur riba atau meyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman. 

Jelas terlihat perbedaan antara pajak dalam sistem Islam dan sistem kapitalisme. Dalam distemkapitalisme pajak digunakan sebagai tulang punggung pendapatan negara dan dilakukan secara permanen. Sebaliknya, dalam sistem Islam pajak dipungut hanya jika kondisi urgen. Pemungutan juga tidak dari semua orang secara merata seperti dalam sistem kapitalisme. Dalam Islam pajak hanya ditarik dari orang-orang yang berkemampuan. Setalah proyek infrastruktur kategori urgen yang pertama itu terpenuhi, maka berhenti juga proses pemungutan pajak.

Karena berpaling dari sistem Islam secara paripurna, pembangunan infrastruktur tidak lebih dari proyek perebutan jatah-jatah kekuasaan untuk mengisi kantong para elit. Meski menyakiti rakyat apalagi di masa  sulit sekarang akibat pandemi yang belum berkesudahan. Sungguh, amat jauh dari fungsinya yang mulia, sebagai sarana bagi para penguasa untuk menunaikan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat dan meraih ridha Allah ta’ala.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak