Oleh: Hamnah B. Lin
Ketidakadilan makin tampak nyata terlihat, sudah tidak ada lagi rasa peka para penguasa kepada rakyatnya, sungguh kedzaliman itu pasti akan ada balasannya.
Adalah para koruptor misalnya, yang kebetulan adalah para pejabat atau mereka yang dekat dengan kekuasaan, kerap dihukum amat ringan. Sudah begitu, masih dapat diskon masa tahanan. Bahkan dalam kasus korupsi bansos triliunan rupiah yang merugikan jutaan rakyat, pelaku dihukum amat ringan. Sebaliknya, dalam kasus pencurian yang dilakukan rakyat biasa, itu pun pelakunya kadang terpaksa mencuri karena memang kelaparan, hukumannya sangat berat.
Pun dalam kasus lain misalnya, pelanggaran protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi Covid-19 ini, makin nyata adanya ketidakadilan. Di antara sekian banyak pelanggaran prokes oleh Presiden, pejabat negara, dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, pelakunya tak ada yang dihukum berat, bahkan banyak yang bebas, tidak dikenai sanksi sama sekali. Sebaliknya, pelanggaran prokes oleh HRS—yang padahal beliau sudah membayar denda—tetap diberlakukan hukuman berat dan tetap dipenjarakan.
Lantas apa yang menjadi sebab ketidakadilan terus terjadi? Ada dua faktor penyebabnya.
Pertama, sistem hukum dan peradilan di negeri ini sangat dipengaruhi oleh sekulerisme. Sekularisme melahirkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama. Dengan demikian sistem hukum dan peradilan di negeri ini nyata mencampakkan hukum dari Zat Yang Mahaadil, Allah SWT. Karena itu dapat dipastikan produk hukum yang dibuat pasti tidak sempurna dan memiliki banyak kelemahan.
Kedua, buruknya mental sebagian aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, atau hakim.
Setiap orang yang mendambakan keadilan, sudah sepantasnya berharap dan bertumpu hanya pada syariat Islam. Tentu karena hanya syariat Islam yang adil. Sebabnya, syariat Islam bersumber dari Zat Yang Mahaadil. Allah Yang Maha Adil telah menetapkan sejumlah aturan/hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Orang yang melanggar aturan/hukum-Nya dinilai berdosa dan bermaksiat. Dia bisa dikenai sanksi di dunia atau diazab di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَ مَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَّرَ لَهُ وَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Siapa yang melanggar (ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya), lalu diberi sanksi, itu merupakan penebus dosa bagi dirinya. Siapa saja yang melanggar (ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya), namun (kesalahannya) ditutupi oleh Allah, maka jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dirinya; dan jika Dia berkehendak, Dia akan mengazab dirinya.” (HR al-Bukhari)
Kemudian sebagai muslim kita juga wajib meyakini bahwa hanya hukum Allah yang terbaik. Allah SWT sendiri yang menegaskan demikian,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50)
Syekh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah SWT. Juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).
Oleh karena itu keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu (Lihat: QS al-An’am [6]: 115). Sebaliknya, saat Islam dijauhkan, dan Al-Qur’an tidak dijadikan rujukan dalam hukum, yang bakal terjadi adalah kezaliman. Allah SWT berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (Al-Qur’an) maka merekalah para pelaku kezaliman.” (TQS al-Maidah [5]: 45)
Dengan demikian keadilan dan Islam adalah satu kesatuan. Tidak aneh jika para ulama menegaskan keadilan (al-‘adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunah (kullu ma dalla ‘alayhi al-Kitab wa as-Sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah, hlm. 15).
Maka keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Sedangkan Islam hanya mungkin tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting, tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman. Pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh Rasulullah ﷺ. Inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.'” (TQS al-Isra’ [17]: 80)
Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan frasa “waj’allii min ladunka sulthân[an] nashîrâ” dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam ayat ini jelas Rasulullah ﷺ menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudud Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurán al-Ázhim, 5/111).
Oleh karena itu, tegaknya Syariat Islam secara kaffah hanya bisa terlaksana dengan teraihnya kekuasaan dalam rangka menjalankan Syariat Islam di muka bumi. Teraihnya kekuasaan untuk mendapat Ridha Ilahi bukan Ridha Insani. Karena Islam membawa Rahmat atas seluruh penghuni alam ini. Keadilan tercipta, kedzakiman pasti sirna.
Wallahu a'alam bisshowwab.