Sudah Siapkah Pembelajaran Tatap Muka ?



Oleh: Nurdianiwati, M. Pd

Pemerintah mulai membolehkan pelaksanaan sekolah tatap muka di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pelaksanaan sekolah tatap muka didasari pada regulasi keputusan bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid 19. Selain itu, Instruksi Mendagri Nomor 35, 36, dan 37 Tahun 2021 terkait Pelaksanan PPKM juga menjadi landasan pelaksanaan kegiatan tersebut.  Berbagai regulasi telah mengatur mekanisme pembelajaran tatap muka yang disesuaikan dengan pencegahan penularan virus corona meliputi 3 aspek besar, yakni persiapan baik sebelum dan selama perjalanan, pelaksanaan di satuan pendidikan, dan evaluasinya.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, ada ratusan ribu sekolah di berbagai daerah di Indonesia yang sudah mulai menggelar pembelajaran tatap muka terbatas. Per tanggal 22 Agustus 2021 sebanyak 31 persen dari total laporan yaitu 261.040 satuan pendidikan yang berada pada daerah dengan PPKM level 3, 2, dan 1 ini telah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka secara terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat. (KOMPAS.com,  Kamis /26/8/2021).

Niat pemerintah melaksanakan sekolah tatap muka sangat disayangkan oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) karena membolehkan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah yang berada pada PPKM Level 1-3, meskipun para siswa belum divaksinasi. Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengkhawatirkan tindakan gegabah tersebut. Menurutnya, vaksinasi anak dan guru harus dituntaskan di sekolah tersebut sebelum dilaksanakannya PTM terbatas.

Kekhawatiran Imam Zanatul beralasan karena progres vaksinasi anak usia 12-17 secara nasional masih lambat, baru mencapai 9,34 persen atau 2.494.621 untuk dosis pertama. Sementara vaksin dosis kedua sudah 1.432.264 atau 5,36 persen. Di mana sasaran vaksinasi anak usia 12-17 tahun sebanyak 26.705.490 orang. Artinya meskipun sekolah di PPKM Level 1-3 tetapi syarat vaksinasi anak belum terpenuhi (Radar Bogor, JawaPos.com, Kamis (26/8).

Hal itu juga dibenarkan oleh Sekretaris Nasional P2G Afdhal, yang menyoroti perbandingan kuantitas siswa yang sudah divaksinasi dengan rombongan belajar (rombel) atau kelas. Kata dia, dari data vaksinasi anak ini, perbandingannya 10:100. Seandainya satu kelas terdiri dari 30 siswa, hanya 3 orang saja yang sudah divaksinasi dan 27 siswa yang belum divaksinasi. Perbandingan siswa yang sudah divaksinasi dengan yang belum sangat jauh. Jadi herd immunity di sekolah saja belum terbentuk. Tentu ini sangat membahayakan keselamatan anak.

Melihat kondisi seperti itu, sebenarnya pemerintah tidak siap dalam menyediakan infrastruktur sempurna untuk kebutuhan PTM di tengah pandemi. Sehingga sangat wajar jika banyak kalangan terutama orang tua murid merasa khawatir. Apalagi sekolah penyelenggara PTM belum menuntaskan pengadaan Vaksin. Seharusnya pemerintah mengambil pembelajaran di sejumlah Negara seperti Israel, Amerika Serikat, dan Korea Selatan yang melaksanakan pembukaan sekolah tanpa memperhitungkan dengan teliti menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19.

Penguasai  Telah Abai 

Sejak awal pemerintah tidak mengambil tindakan tepat yaitu tindakan preventif melalui karantina /lockdown (syar’i), sehingga akhirnya wabah Covid-19 ini menyebar hampir ke seantero nusantara. Korban nyawa pun tidak mengenal status dan usia. Mestinya pemerintah tidak terburu-buru menetapkan pembukaan sekolah dengan tatap muka sebagai konsekuensi penerapan era new normal di bidang pendidikan. Apalagi dengan kebijakan pembukaan sekolah di zona kuning.

Sejak awal pandemi, pemerintah menerapkan system belajar dari rumah (pembelajaran daring). Tetapi faktanya banyak guru dan siswa yang resah dengan pembelajaran daring selama proses belajar dari rumah. Seharusnya pemerintah mengevaluasi diri sejauh mana peran pemerintah dalam mengoptimalkan proses belajar dari rumah. Tampaknya pemerintah belum mempersiapkan secara matang dalam menyelenggarakan pembelajaran daring. Hal itu terlihat dari belum optimalnya pemerintah dalam memenuhi fasilitas yang dibutuhkan para guru dan siswa saat belajar dari rumah. Banyaknya keluhan dari orang tua terkait membengkaknya biaya kuota, harus membelikan perangkat gadget, belum lagi terkait jaringan internet yang sering mengalami gangguan atau di luar jaringan. 

Keresahan para guru dan siswa dalam proses pembelajaran dari rumah (pembelajaran daring) tidak bisa dijadikan alasan untuk menyegerakan proses belajar tatap muka dengan mengabaikan keamanan dan kesehatan generasi ini. Apalagi dengan berbagai ketidaksiapan sekolah dalam penyelenggaraannya. Memang, ada situasi delematis yang dihadapi para orang tua. Di satu sisi ingin anaknya tidak ketinggalan pelajaran atau ingin hasil belajar anaknya optimal sesuai target. Di sisi lain, ada risiko terpapar virus Covid-19 yang sampai detik ini di Indonesia tidak jelas kapan puncak kurva pandemi terjadi dan angka penyebaran virusnya bisa menurun.

Kondisi di atas menunjukkan lemahnya pemerintah sekuler mengatasi masalah pendidikan. Hal ini akibat dari tersanderanya kebijakan kepentingan dari penguasa. Pendidikan tidak dijamin sebagai kebutuhan publik yang wajib diselenggarakan oleh negara.
Segala kebijakan disandarkan pada untung dan rugi. Bukan keselamatan dan kepengurusan terhadap rakyat. Oleh karena itu, masihkah berharap pada sistem semacam ini?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak