Oleh : Ummu Hanif
(Pengamat Sosial dan Keluarga)
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam video virtual di Jakarta, pada rabu (25/8/2021) menyatakan yakin bisa membayar utang pemerintah jika masyarakat seluruhnya bisa membayar pajak. Tercatat, utang pemerintah mencapai Rp.6.554,56 triliun hingga akhir Juni 2021. Artinya bernila 41,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Utang ini terdiri dari SBN sebesar Rp.5.711,79 triliun dan pinjaman baik dalam dan luar negeri sebesar Rp.842,76 triliun. (www.okezone.com, 26/08/2021)
Demikianlah, demi mengenjot pendapatan melalui pajak, beberapa waktu yang lalu, pemerintah berencana menarik pajak 12 bahan makanan pokok makanan yang tertuang dalam Revisi Kelima UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), atau akan diberlakukannya pajak pendidikan. Semua itu merupakan kebijakan baru yang akan diputuskan oleh rezim kapitalistik.
Maka tidak heran jika kemudian publik pun mengkritik penguasa dengan mengatakan bahwa “Pemerintah yang tukang utang, rakyat yang suruh bayar”. Pakar Politik dan Hukum Universitas Nasional, Saiful Anam, juga mengkritisi kebijakan yang tidak memihak rakyat ini. Menurutnya para pejabat dan para pengusaha asinglah yang korupsi, serta orang-orang kaya yang mengemplang pajak. Maka, tidaklah elok jika rakyat yang diinjak lewat pajak. (www.gelora.co, 28/8/2021).
Di sistem kapitalisme sekuler, pajak memang menjadi sumber utama pendapatan negara, sehingga semua warga negara wajib membayar pajak. Terlihat dari APBN Indonesia tahun 2020 yang menjadikan pajak berada pada posisi teratas dalam pendapatan negara. Meyakini utang bisa lunas jika rakyat bayar pajak, merupakan upaya untuk mengeksploitasi rakyat dengan berbagai pungutan. Sementara sumber daya alam yang merupakan sumber penerimaan negara, justru diberikan untuk kepentingan para kapitalis dan oligarki kekuasaan.
Di saat Kehidupan rakyat makin sengsara terdampak pandemi, justru rakyat diajak berjibaku membayar hutang yang dilakukan oleh para kapital. Padahal sering rakyat disuguhi tontonan, bahwa para kapitalis dan pejabat korupsi lepas dari tanggung jawab membayar pajak. Mereka tak dikejar seperti mengejar pajak dari rakyat. Menkeu mewakili pemerintah menginginkan dihentikannya tuntutan pidana bagi pengemplang pajak. Ia ingin hukuman diganti menjadi sanksi administrasi semacam denda. Hal ini dilakukan karena Indonesia telah memiliki sejumlah kerja sama dengan negara lain di dunia terkait pemetaan pengemplangan pajak nasional di luar negeri (cnnindonesia.com, 25/5/2021).
Dalam pandangan Islam haram hukumnya pajak sebagai sumber utama APBN. Sumber utama APBN Islam ialah pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang masuk dalam kategori milik umum seperti barang tambang dan sumber daya alam lainnya, atau harta milik negara yang dikelola oleh BUMN. Pajak baru diberlakukan ketika negara benar-benar mengalami defisit. Pajak yang ditarik pun hanya ditujukan pada penduduk muslim yang kaya. Pajak digunakan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vital, dan menangani bencana. Sekali lagi, hal ini dilakukan ketika kas negara tidak cukup untuk membiayai dan bantuan sukarela yang diberikan kaum muslim tidak mencukupi (al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah, Abdul Qadim Zallum).
Sudah seharusnya negeri ini mengganti sistem ekonomi kapitalistik yang makin menyulitkan hidup rakyat. Selanjutnya menerapkan sistem ekonomi Islam yang tak membebani rakyat dengan berbagai pungutan. Hidup rakyat sejahtera dan segala layanan fasilitas publik dipenuhi dengan baik. Maka, belum saatnyakah kita semua berjibaku untuk merealisasikannya? Wallahu a’lam bi ash showab.