Oleh Ummu Nasrul
(Pemerhati Pendidikan)
Pemerintah
berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN)atas jasa pendidikan
sebesar 7% dalam rancangan undang-undang ketentuan umum tata cara perpajakan (RUU KUP). Jika tidak ada
aral melintang rencana ini akan diterapkan usai pandemi corona (insight.contan.co.id,8/9/2021)
Terkait hal tersebut
pemerintah dan Komisi X1 DPR RI tengah membahas revisi RUU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam revisi RUU ini, ada
5 klaster
yang dibahas yakni ketentuan umum tata cara perpajakan (KUP), pajak penghasilan (PPH), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, dan pajak karbon.
Dari 5 klaster ini, yang banyak
pendapat penolakan dari masyarakat adalah pengenaan PPN sembako, jasa
pendidikan dan kesehatan (cnbcindonesia. com, 13/09/2021).
Staf khusus Menteri Keuangan
Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus
Prastowo mengatakan, pemerintah dengan
legislatif sangat hati-hati
dalam pembahasan wacana PPN atas jasa pendidikan dan sejauh ini, pemerintah sudah mendengarkan
saran berbagai stakeholders.
Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan
merupakan obyek PPN yang terhutang pajak atas konsumsi tersebut. Namun untuk
jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, seperti sekolah negeri
tetap mendapatkan fasilitas
pengecualian PPN. Prastowo pun
mengungkapkan dalam acara kerja sama kontan dan kompasTV,08/092012, bahwa kita
bukan mengenakan pajaknya, tapi ingin mengadministrasikan sekaligus
mengafirmasi lembaga pendidikan taat, komit kepada pendidikan yang nirlaba.
Efek
Domino Pajak
Pendidikan
Banyak pakar telah mengingatkan efek domino
dari diberlakukannya pajak pendidikan. Mengingat
pendidikan adalah hak setiap warga negara yang harus disediakan oleh pemerintah secara gratis.
Bhima Yudhistira menilai bahwa rencana
kenaikan tarif PPN untuk jasa pendidikan atau sekolah, bertentangan
dengan fokus pemerintah untuk memperbaiki kualitas
sumber daya manusia.
Efek
dominonya, biaya pendidikan
akan semakin mahal dan ini menambah beban masyarakat. Akhirnya masyarakat miskin
makin kesulitan untuk mengakses pendidikan, sehingga berpotensi munculnya anak
yang putus sekolah semakin besar.
Walaupun Menteri Keuangan,
Sri Mulyani mengatakan bahwa pajak ini hanya untuk
jasa pendidikan yang diselenggarakan secara komersial, tetap saja akan
berdampak pada sekolah swasta yang ada di desa.
Kebijakan ini menguatkan
bukti lepasnya tanggung jawab negara untuk memberikan
pelayanan di bidang
pendidikan secara merata pada seluruh
lapisan masyarakat, berkualitas dan gratis.
Peran Negara dalam Islam terhadap Dunia Pendidikan
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
masalah pendidikan. Hal ini terlihat ketika Rasulullah menetapkan tebusan bagi
tawanan perang Badar
dengan mengajar membaca 10 orang anak muslim.
Negara menurut
Islam seharusnya
menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama,
kaya, miskin ras, suku maupun jenis kelamin.
Dalam Islam,
Negara wajib menjamin segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan, bukan sekadar
persoalan kurikulum, akreditasi sekolah metode mengajar tetapi juga
mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan gratis, tanpa membebani rakyat
berupa pajak.
Pembiayaan pendidikan dalam pemerintahan Islam diambil dari baitul
mal yang bersumber pada:
1. Pos fa’i dan kharaj yang
merupakan pemilikan negara seperti ghanimah, khumus, jizyah dan dhoribah.
2.Pos kepemilikan umum,
seperti tambang, minyak ,gas,huran,laut dan hima (milik umum yang penggunaannya
telah dikhususkan.
Dari sumber pendapatan negara yang tersebut
di atas
meniscayakan negara untuk menyelenggarakan pendidikan secara gratis tanpa harus
membebani rakyat. Sebagaimana
Rasulullah sallallaahu alaihi wassalam bersabda yang artinya,"Seorang imam/pemimpin (kepala negara) adalah
pemelihara, dan pengatur urusan rakyat, dan ia
akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya".(HR. Bukhori dan
Muslim).
Wallahu’Alam