Oleh: Ina ariani
Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial
Beberapa Waktu lalu beredar video santri penghafal Al-Qur’an tutup telinga saat mengantri vaksin karena adanya pemutaran musik. Para santri tersebut menutup telinganya untuk menjaga hafalan. Hal itu dianggap tidak wajar oleh Diaz Hendropriyono. Ia menyebut dalam unggahnya, “Para santri tersebut sudah salah diberikan pendidikan sejak kecil tak ada salahnya untuk sedikit bersenang-senang.” (Merdeka.com, 15/9/2021).
Tak lama kemudian media kembali ramai kabar tentang penista agama, Muhammad Kosman atau Muhammad Kece diduga telah dianiaya oleh tahanan lain, di rumah tahanan (rutan) Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Sebelumnya, Kece ditangkap pada selasa 24 Agustus 2021 di Bali. Ia dijerat pasal terkait pernyataannya yang menimbulkan luka pada hati umat Islam. Ia terancam hukuman penjara hingga enam tahun. Kece dipersangkakan pasal 28 ayat (2), pasal 45a ayat (2) UU ITE atau pasal ini 156a KUHP (Okezone.com, 17/9/2021).
Benar-benar miris melihat negeri mayoritas muslim, yang tidak mencerminkan akhlak sebagai muslim. Kata-kata inilah yang cocok untuk menggambarkan kondisi negeri. kasus penistaan agama terus berulang dan tidak ada hukum tegas yang memberikan efek jera kepada para pelaku sehingga kasus ini terus terjadi. Olok-olokan yang merendahkan ajaran Islam dan para pengemban dakwahnya pun terus terjadi. Karena sanksi yang diberikan kepada para pelaku penistaan dipandang tak cukup memberi dampak efektif.
penegakan hukum di Indonesia tidak adil terutama dalam pengentasan kasus penistaan agama. Panjangnya rentetan kasus dugaan penistaan terhadap agama diakibatkan mandul dan tumpulnya mekanisme hukum Indonesia bekerja.
Seharusnya, "Bagaimana pun, siapapun, hukum ini harus ditegakkan dan tidak boleh pandang bulu".
Kenapa rentetan-rentetan itu bisa terjadi? Tak lain dan tak bukan karena tumpul, dan mandul serta ketidakberdayaan hukum di Indonesia. Tumpulnya penegakan hukum tersebut menimbulkan banyak reaksi dari orang-orang yang kecewa akan tidak adanya upaya proses hukum yang merata dalam kasus penistaan agama.
Apabila sistem Kapitalis Sekuler tetap menjunjung tinggi kebebasan individu dan melahirkan hukum, maka hanya akan meredam kegaduhan publik, bukan memberi solusi tuntas. Perbuatan yang rendah semacam ini akan terus berulang, dengan bentuk baru dan pemain baru selama kebebasan berpendapat masih dilegalkan.
Kondisi ini akan berbeda jika Islam diterapkan secara sempurna (kaffah) dalam Khilafah Islamiyyah. Penguasa pasti akan menjaga agama karena itu bagian dari tugasnya. Penistaan agama tidak akan terus berulang jika Islam diposisikan sebagai konstitusi karena Islam mempunyai hukum yang terperinci di dalam Al-Qur’an dan hadits.
Kebebasan berpendapat yang diberikan oleh perspektif Demokrasi telah nyata hanya melahirkan orang-orang liberal yang berani menyimpangkan kebenaran Islam, berani menghina dan menghujat ajaran Islam yang sudah pasti kebenarannya, seperti kebenaran Al-Quran dan kemaksuman Rasulullah SAW.
Berbeda dengan Islam, ketika ada penistaan terhadap nabi dan agama Islam. Hukum dalam Islam bertindak tegas dan menghukum pelakunya dengan hukuman mati. Tidak ada kompromi bagi penghina Rasulullah. Dengan hukuman mati yang telah ditetapkan syariat, maka akan memberikan efek jera bagi yang melihatnya. Setidaknya hal tersebut akan membuat seseorang takut untuk melakukan penghinaan. Bisa dipastikan, pada sistem Islam penghina Rasulullah tidak akan diberi ruang sedikit pun.
Sebagaimana yang pernah terjadi dimasa Kholifah Umar bin Khattab ra. Beliau bertidak tegas dan mengatakan “Barangsiapa mencerca Allah atau mencaci salah satu nabi maka bunuhlah ia” (Diriwayatkan oleh Al karmani rahimahullah yang bersumber dari mujahid rahimahullah).
Berkaitan dengan penghinaan kepada Rasulullah SAW, Islam telah memberikan gambaran yang jelas, keagungan dan kemuliaan Rasulullah SAW dijelaskan langsung oleh Allah, dalam Al-Qur'an surat Al-Qalam ayat 4.
"Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. Karena Tuhanmu yang mendidikmu dengan akhlak Al-Qur'an."
Meskipun telah ada UU (undang-undang) yang mengatur sanksi terhadap penista agama, yaitu KUHP Pasal 156 (a), namun suara para penista masih nyaring terdengar, kalaupun ditindak tidak ada sanksi tegas yang membuat jera. Ini adalah bukti bahwa penegak hukum sistem kapitalis mandul, dan negara juga gagal menjaga kehormatan agama, semua terjadi akibat sistem yang rusak.
Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teologis. Artinya hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi, hukum Islam bukan bertujuan untuk meraih kebahagiaan yang fana dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang menghendaki kedamaian di dunia saja.
Tujuan dari hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim Allah Kepada semua Makhluk-Nya, Rahmatan Lil Alamin adalah inti syariah atau hukum Islam. Dengan adanya syariah tersebut dapat ditegakkan kedamaian di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang. Keadilan sangat mulia di mata Tuhan dan Sifat Adil merupakan jalan menuju takwa setelah iman kepada Allah.
Oleh karena itu mari kita semua kembali kepada aturan Islam yang hak Rahmatan lil'alamin rahmat bagi seluruh alam dengan mencampakkan sistem yang rusak yaitu Demokrasi Kapitslis Sekuler ke sistem Islam dengan berislam kaffah menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bishshawab**