Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial dan Keluarga)
Setiap tanggal 4 September, dunia memeringati Hari Kesehatan Seksual Sedunia atau World Sexual Health Day (WSHD). Perayaan ini dikelola oleh Asosiasi Dunia untuk Kesehatan Seksual atau World Association for Sexual Health (WAS).
Dilansir dari laman Time and Date, WAS adalah sebuah organisasi advokasi global yang berkomitmen untuk mempromosikan praktik terbaik dalam kesehatan seksual. Pada 4 September 2010, WAS memanggil semua organisasi mereka untuk merayakan Hari Kesehatan Seksual Sedunia (WSHD) dalam upaya untuk mempromosikan kesadaran sosial yang lebih besar tentang kesehatan seksual di seluruh dunia.
Sudah bertahun - tahun Hari Kesehatan Seksual Sedunia diperingati. Namun mirisnya, kasus kekerasan seksual pada anak makin meningkat dari hari ke hari. Dalam laporan yang diterima KPAI, jumlah anak sebagai korban kekerasan seksual meningkat dua kali lipat pada masa pandemi. Dari 190 kasus (2019) menjadi 419 kasus (2020). (bbc.com/indonesia/majalah)
Banyak pihak menilai, tersumbatnya akses Pendidikan kespro dan seksualitas menjadi penyumbang kekerasan sosial paling atas. Sejauh ini, pemerintah telah melakukan internalisasi atau menyisipkan pendidikan kespro dan seksualitas dalam Kurikulum 2013 melalui mata pelajaran lainnya, seperti biologi, pendidikan olah raga, dan pendidikan agama. Hanya saja, tidak banyak sekolah yang menerapkan program pendidikan seks dan kespro dalam mata pelajaran dengan alasan tabu atau karena keteteran dengan mata pelajaran utama.
Jika kita mau jujur, sesungguhnya pendidikan seks dan kespro telah nyata tidak mampu menghentikan kekerasan seksual terhadap anak, bahkan kasus kekerasan seksual makin meningkat. Tidak sedikit kasus, pendidikan seks dan kespro justru menginspirasi anak – anak untuk mencoba, meski di luar pernikahan. Sehingga bukannya menjadi solusi, justru menjadi masalah baru yang tidak bertepi.
Dengan sistem sekuler yang diterapkan di negeri ini, maka aqidah Islam akan dijauhkan dari seluruh lini. Dunia Pendidikan, tentu tak terkecuali. Akhirnya, siswa hanya dijadikan robot pengejar ilmu keduniawian yang lupa urusan akhiratnya. Jelas, ketika peserta didik tidak lagi berada dalam suasana takwa, mereka lebih mudah terseret arus liberalisasi. Terlebih lagi lingkungan keluarga juga tidak mampu menjadi penopang generasi. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan ekonomi dan merasa cukup menitipkan anaknya di sekolah, apalgi sekolah dengan grade yang tinggi.
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang paripurna, telah memberikan tanggung jawab yang demikian sepadan kepada kaum muslimin—individu, keluarga, masyarakat, terlebih lagi negara—untuk melindungi setiap anggota keluarga. Dalam keluarga, ayah bertanggung jawab memberikan nafkah pada istri dan anak-anaknya, juga menjaga keamanan mereka dari berbagai gangguan. Keluarga juga menjadi institusi pertama peletak ketaqwaan anggota keluarga, sebagai benteng tindakan maksiat, termasuk kekerasan seksual.
Di level masyarakat, setiap anggota masyarakat ada kewajiban untuk saling beramar makruf nahi mungkar, tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, kepada siapa saja. Termasuk saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat dan saling menjamin rasa aman lingkungan. Sebab, Islam sangat memperhatikan kesehatan masyarakat. Adapun negara, berkewajiban melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Ia bertanggung jawab untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sekaligus menerapkan sanksi terhadap pelaku penyimpangan.
Ssyariat Islam memiliki sejumlah aturan yang berkaitan dengan penanaman pemahaman agar setiap muslim bertanggung jawab atas kehormatan dirinya. Hukum Islam juga mengatur apa yang mesti dilakukan bila kebetulan libido mereka muncul, yakni berpuasa bagi yang belum menikah dan menemui istrinya bagi yang sudah menikah. Islam bahkan mengatur kehidupan masyarakat agar interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan rangsangan seksual, baik dalam kehidupan umum dan khusus. Semua itu tercakup dalam hukum-hukum pergaulan dalam Islam.
Maka tampak sangat jelas, pendidikan seksual dan kespro bukanlah solusi bagi permasalahan kekerasan seksual pada anak. Satu-satunya cara menyelamatkan mereka adalah dengan mencabut akar ideologi sekuler dan menanamkan ideologi Islam yang terbukti sahih dan membawa kebaikan bagi manusia di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishshawwab.