Oleh : Rindoe Arrayah
Kembali terjadi, kasus perundungan dan pelecehan seksual. Belum lama ini, seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual oleh teman kerjanya di lingkungan Kantor KPI Pusat selama periode 2011-2020. Kasus ini sedang ditangani pihak kepolisian setelah korban menulis surat terbuka kepada bapak Presiden Joko Widodo yang viral di media sosial. Komnas HAM menilai adanya pembiaran atau pengabaian dalam penanganan kasus ini. Hal ini menunjukkan kurangnya jaminan keamanan dan perlindungan bagi setiap individu, baik di tempat kerja ataupun di ruang publik lainnya. Perundungan dan pelecehan seksual juga tidak hanya menimpa kaum perempuan saja, namun kaum laki-laki juga. Bahkan anak di bawah umur menjadi korbannta. Peristiwa semacam ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi para pembuat kebijakan.
Tentunya, masih jelas dalam ingatan tentang kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh pedangdut ternama Saipul Jamil di tahun 2016. Sudah 5 tahun berlalu, kini kasus yang pernah menjeratnya kembali menjadi sorotan. Hal itu lantaran Saipul Jamil yang resmi bebas dari LP Cipinang pada Kamis (02/09/2021) disambut dengan meriah bak pahlawan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan langkah media yang mengglorifikasi bebasnya bekas narapidana kasus pencabulan Saipul Jamil. Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyebut glorifikasi kebebasan Saipul oleh media menunjukkan hilangnya sensitivitas terhadap korban pencabulan (nasional.kompas.com, 07/09/2021).
Hukum dalam sistem kapitalisme liberal tidak akan pernah mampu membuat para pelaku pelecehan dan penyimpangan seksual jera. Semua penanganannya hanya memberi penuntasan dan perlindungan abal-abal. Harapan pemberantasan pelecehan dan penyimpangan seksual nyatanya tak bisa diselesaikan secara tuntas dan terus muncul kasus serupa. Lalu, bagaimana Islam menyelesaikan masalah ini?
Islam bukan sekadar agama ritual semata, namun juga sebagai ideologi yang menyelesaikan segala problematika yang ada berlandaskan hukum syara’. Solusi yang Islam berikan tidak hanya berbicara tentang penanggulangan, namun juga mampu memberi pencegahan. Islam juga menetapkan sanksi yang tegas untuk pelaku pelecehan seksual. Jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, maka hukumannya dirajam bagi yang sudah menikah atau dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah. Jika yang dilakukan adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya yaitu hukuman mati, bukan yang lain. Dan jika yang dilakukan pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, maka hukumannya yakni takzir. Meskipun hukuman takzir bisa dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, namun disyaratkan telah disahkan dan tidak melanggar nas-nas syariat, baik Alquran maupun Sunah.
Berbagai penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem kapitalisme saat ini telah nyata adanya tidak akan pernah bisa terselesaikan dengan baik. Oleh karenya, wajib dikembalikan kepada syariat Islam secara kafah. Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan kepada siapapun. Mekanisme sanksi yang tegas dalam sistem Islam pun akan mampu menjadi penghalang tindak kejahatan seksual atau penyakit sosial lainnya. Penerapan dalam sistem Islam tidak bisa terlepas dari 3 pilar yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penegakan hukum oleh negara. Sehingga, semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi ini atas izin Allah.
“Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah : 3)
Wallahu a’lam bishshowab.