Over Kapasitas Lapas, Bukti Hukum dan Peradilan Tidak Tuntas



Oleh : Afrin Azizah

Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tangerang, Provinsi Banten pada Rabu dini hari (8/9/2021) mengakibatkan 41 orang meninggal dunia. Selain itu, 8 orang mengalami luka bakar dan 72 narapidana lain menderita luka ringan. Sementara itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran memastikan petugas pemadam kebakaran telah memadamkan si jago merah. Petugas juga telah mengevakuasi korban selamat dalam kejadian nahas tersebut, meski dia tak menyebut jumlahnya. (www.tirto.id, 08/09/2021)

Menanggapi peristiwa ini, Menkumham Yasonna Laoly mengatakan Lapas Kelas 1 di Tangerang dibangun pada 1972. Sejak itu, tidak ada perbaikan instalasi listrik meski ada penambahan daya listrik. Diketahui, lapas tersebut memang kelebihan penghuni hingga 250%. Lapas yang semestinya untuk 600 orang, saat ini diisi penghuni mencapai 2.072.

Kebakaran lapas di Tangerang bukanlah yang pertama. Kelebihan kapasitas selalu menjadi alasan yang seakan tidak pernah menemukan penyelesaian. Menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, kelebihan penghuni hanyalah efek dari sistem peradilan Indonesia yang menjadikan penjara sebagai hukuman utama. Ia mencatat sebanyak 52 kali hukuman penjara sering kali digunakan hakim dan jaksa dalam proses pidana. Sehingga, terjadilah yang namanya lapas kelebihan beban karena narapidana selalu berakhir di penjara.

Adapun Pernyataan Menkopolhukam mengenai pembangunan penjara baru dengan menggunakan dana hasil sitaan kasus BLBI demi mengatasi over kapasitas, justru menunjukan kebijakan yang jauh dari akar solusinya. Karena data menunjukan, masih banyak para residivis yang terlibat kriminal kembali setelah keluar penjara. Apalagi, wajah baru para pelaku kriminal juga tidak sedikit jumlahnya. Hal ini menunjukan bahwa hukum penjara tidak bisa membuat jera. Sehingga hukum dan peradilan kita yang seharusnya dievaluasi, bukan justru menambah banguan penjaranya.
Berbagai penyebab dari meningkatnya kriminalitas tidak jauh dari masih diterapkannya sistem hukum sekuler. Orang mudah melakukan kejahatan lantaran terhimpit ekonomi yang serba sulit selain tentunya karena lemah iman dan hati yang sempit. Masalah ekonomi masyarakat seharusnya menjadi kewajiban bagi para penguasa, bukan justru mengabaikan dan memperkaya diri sendiri dengan menambah fasilitas yang tidak bermanfaat bagi rakyat.

Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan Islam. Dalam Islam, sanksi hukum diberlakukan dengan tegas. Dengan sanksi tegas tersebut, diharapkan akan memberikan efek jera bagi para pelaku.  Efek jera inilah yang memiliki fungsi zawajir (pencegah) dan  jawabir (penebus dosa). Sanksi yang diputuskan akan membuat para pelaku merasa kapok dan tidak mengulangi kejahatannya. Dengan sanksi itu pulalah, hukuman itu bisa mereka tebus di dunia sehingga kelak di akhirat tidak akan mendapat azab yang pedih dari Allah Swt.

Selain itu Islam memiliki strategi dalam mencegah angka kriminalitas, mulai dari individu yakni membina keimanan dan ketakwaan dengan akidah Islam. Juga adanya dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga dengan lingkungan yang Islami, masyarakat mampu mencegah jika ada kemaksiatan disekitarnya. Para aparat penegak hukum juga akan bertanggung jawab sebagai pelayan dan pelindung umat dari kejahatan. Ketika fungsi ini didasari rasa tanggung jawab dan iman yang kuat, masyarakat tidak akan segan dan sungkan melaporkan setiap kejahatan yang terjadi. Jika hukum yang ditegakkan berdasar syariat Islam, tidak akan ada jual beli hukum di lingkungan aparat penegak hukum.

Selain itu, dalam sistem islam, penguasa bertanggungjawab atas kebutuhan rakyatnya. Sehingga tidak ada kejahatan dikarenakan himpitan ekonomi. Maka tidak rindukah kita dengan sistem yang demikian? Bukankah kita seharusnya bersegera untuk merealisasikan sistem yang menjunjung tinggi keadilan bagi semua kalangan? Sehingga berkah dari langit dan bumu bisa kita dapatkan. 
Wallahua’lam bishawab..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak