Oleh : Eva
(Komunitas Tinta Pelopor)
Masih basah air mata anggota keluarga karena ditinggalkan ayah, ibu, anak dan kerabat keluarga lainnya yang wafat akibat terpapar Covid-19, beberapa waktu lalu publik tersontak sebab ramai diberitakan baik di media cetak, televisi dan media sosial lainnya adanya pejabat daerah yang mendapatkan honor monitoring pemakaman Covid-19. Sungguh sangat menyesakkan dada di situasi pandemi yang masih berlangsung hampir kurang lebih 2 tahun lamanya yang telah banyak menelan korban jiwa. Diketahui, masing-masing pejabat tersebut memperoleh honor fantastis sekitar 70 juta lebih, angka yang tidak sedikit bukan. Jumlah tersebut konon berasal dari banyaknya kematian pasien Covid-19 dan diberikan atas dasar SK Bupati No. 188.45/107/1.12/2021 tentang struktur tim pemakaman jenazah Covid-19. (dikutip regional.kompas.com, 29/8/2021)
Meskipun menurut pengakuan dari pejabat daerah itu bahwa honor tersebut telah diberikannya pada warga kurang mampu yang keluarganya meninggal karena Covid-19. “Honor yang saya terima itu langsung kami berikan pada keluarga yang meninggal karena Covid-19, yang tidak mampu,” paparnya (dikutip kompas.com, Kamis 26/8/2021). Menurut dia, berdasarkan regulasi yang ada, terdapat peran pengarah, penanggungjawab, ketua, anggota dalam tim pemakaman Covid-19. Fungsinya untuk melakukan monitoring dan evaluasi. Dijelaskan bahwa honor dari tim pemakaman itu senilai Rp 100.000 per warga yang meninggal karena Covid-19.
Lantas, publik jelas bertanya-tanya dimanakah hati nuraninya ? Bukankah mereka juga telah mendapatkan gaji bulanan sebagai aparatur negara ? Mengapa harus menerima honor tambahan ? Benarkah ini salah satu bentuk kepedulian para pejabat terhadap rakyat ? Sudah sakit terpapar Covid-19 yang berujung pada kematian, kemudian keluarga yang ditinggalkan harus melanjutkan kehidupan dalam kegetiran, eh, pejabatnya malah memperkaya diri lewat kewenangan jabatan. Maka, jangan salahkan rakyat jika menilai kalau ada para pejabat justru menjadikan korban Covid sebagai sumber penghasilan lain di luar gaji bulanananya. Sungguh, rasanya tak pantas penderitaan rakyat dan kesedihan keluarga korban meninggal, justru malah menikmati insentif dalam cuan yang berlimpah ruah.
Beginilah potret fakta yang terjadi jika rakyat masih hidup dalam pengurusan sistem yang rusak dan bathil. Sistem yang hanya menjadikan rakyat sebagai korban keserakahan dibalik tamengnya dengan beribu janji yang diumbar dengan dalih kesejahteraan rakyat. Sistem yang semakin membuat derita rakyat terabaikan demi memperkaya diri dan kelompoknya. Lemahnya pengawasan negara sehingga ada para oknum pejabat menganggap berhak mendapatkan sejumlah materi dari pengurusannya terhadap rakyat. Apakah masalah akan selesai cukup dengan mengembalikan honor monitoring dan evaluasi (monev) ke kas daerah ? Justru, ini menambah masalah baru selama pandemi. Publik menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri betapa lemahnya pengawasan negara atas para pejabatnya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengkritisi pejabat pemerintah daerah yang mendapat honor pemakaman pasien Covid-19. Dia menyebut, pejabat yang mendapat honor tersebut masuk kategori moral hazard. "Wah moral hazard, tidak tepat itu. Itu bisa-bisanya, bagaimana bisa itu menjadikan orang meninggal sebagai sumber pendapatan. Ini sesuatu yang harus diinvestigasi," (dilansir merdeka.com, Jumat 27/8/2021). Pemerintah daerah seharusnya bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pelayanan publik dengan baik, mengawasi secara ketat tata kelola pemerintah daerah dalam menangani kasus covid-19. Bukan malah sebaliknya, proses pemakaman kasus covid-19 dijadikan sebagai lahan binis demi meraup untung sebanyak-banyaknya.
Sungguh kasihan kondisi rakyat hari ini, harus menerima pil pahit bahwa kenyataannya kita diurus oleh para pejabat yang tak bertanggung jawab. Tidak jarang rakyat menemukan pejabat publik yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan dirinya. Alih-alih bersungguh-sungguh menyejahterakan rakyat, mereka malah memperkaya diri hingga berani melakukan korupsi. Inilah yang sering kita temukan dalam pemerintahan sekuler demokrasi.
Hal ini jelas sangat berbeda jauh di dalam sistem islam. Islam agama sekaligus mabda yang memiliki seperangkat aturan, panduan terhadap keberadaan orang-orang atau pejabat yang akan melayani rakyat. Dipilih dan diangkat yang sedari awal telah berkomitmen bekerja keras , bersungguh-sungguh untuk menyejahterakan rakyat, menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat dan bukan sebaliknya orang yang mencari-cari sumber pendapatan di luar gaji bulanan lewat jabatan.
Sebagai pejabat publik, tentunya mereka harus sepenuhnya memberikan waktu 24 jam penuh untuk melayani rakyat, memahami aduan dan keluh kesahnya serta memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Mereka harus sadar betul bahwa pejabat publik merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya bukan hanya di hadapan manusia tapi juga di hadapan Sang Maha Kuasa Allah swt.
Maka, di dalam sistem Islam, sebagai pejabat publik harus memiliki beberapa kriteria diantaranya : Pertama, memiliki fisik yang kuat, sebab bekerja siang dan malam untuk rakyat membutuhkan stamina kesehatan yang prima. Kedua, memiliki belas kasih dan kasih sayang terhadap rakyat, jangan sampai rakyat kesusahan karena kebijakan yang diputuskannya. Ketiga, siap untuk diganti atau dipecat ketika salah menjalankan tugasnya dan juga berani bertanggung jawab atas setiap keputusan yang ditetapkan, bukan bermental pengecut dengan mencari-cari pembenaran hingga luput dari sanksi dan pemecatan.
Tags
Opini