Oleh : Ummu Hanif
(Pengamat Sosial Dan Keluarga)
Kementerian Ketenagakerjaan mengajak Negara-negara Anggota ASEAN untuk memberikan perhatian terhadap isu pelindungan perempuan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di masa pandemi Covid-19.
Isu pelindungan perempuan, pemberdayaan perempuan, dan kesetaraan gender dianggap bagian tak terpisahkan dari upaya pemulihan kondisi sosial dan ekonomi dari krisis Covid-19. Hal itu juga selaras dengan komitmen bersama mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Global (Sustainabale Development Goals/SDGs) tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Ini suatu cara yang tepat untuk meningkatkan peran dan pelindungan angkatan kerja perempuan dalam mendukung pemulihan ekonomi selama masa pandemi.
Hal ini disampaikan Menaker Ida sebagai bentuk komitmen Pemerintah Indonesia menindaklanjuti Lokakarya Regional ASEAN Peningkatan Peran Dan Perlindungan Perempuan Angkatan Kerja Untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi, yang dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2021 secara hybrid. (www.tempo.com, 29/08/2021)
Berdasarkan laporan International Labour Organization (ILO), pekerja perempuan di kawasan Asia-Pasifik terdampak krisis secara tidak proporsional. Artinya, perempuan yang kehilangan pekerjaan lebih besar di daripada laki-laki. Menurut ILO, 297 juta perempuan bekerja di sektor berisiko tinggi pada tahun 2019 di Asia dan Pasifik.
Sungguh, nasib perempuan kian hari kian memprihatinkan. Dalam sejarah peradaban islam, kondisi ini tidak pernah terjadi. Hal ini dikarenakan ada perbedaan mendasar anatara islam dan kapitalis dalam memandang perempuan. Dalam pandangan Islam, laki -laki dan perempuan Allah ciptakan dengan seperangkat aturan yang berbeda untuk keduanya, karena memang optimasi dari masing-masing berbeda. Hanya saja keduanya tetap berkontribusi selaras dalam proses memajukan masyarakat, meninggikan peradaban yang membawa kebaikan bagi semuanya, baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan, sistem peradaban kapitalisme sekuler melihat manusia sebagai salah satu bagian dari faktor produksi. Tidak peduli berjenis kelamin laki – laki atau perempuan. Dengan perspekstif ini, mereka akan berusaha keras agar mengotimasi keduanya ini (laki-laki dan perempuan) agar berkontribusi dalam aspek perekonomian.
Di dalam Islam, hak ekonomi diberikan kepada setiap perempuan sehingga terjaga pemenuhan nafkahnya. Pada institusi keluarga, Islam mewajibkan seorang ayah atau suami untuk bekerja. Di sini negara hadir berperan untuk memastikan tidak satu pun laki-laki yang menganggur. Jika misalnya wafatnya suami atau ayah dan tidak ada satu pun kerabat laki-laki yang mampu menggantikan atau mengambil peran itu, maka negara akan hadir untuk memberikan nafkah itu.
Hal ini telah dipraktikkan oleh Khilafah Islam dalam sistem peradaban Islam. Sehingga terpenuhilah hak ekonomi bagi setiap perempuan tanpa memaksa mereka untuk bekerja, yang mendorong mereka berada pada kondisi rentan mengalami kekerasan, pelecehan, dan berbagai tindakan yang tidak perlu mereka hadapi.
Untuk itu, sebagai muslimah kita tentu harus berhati-hati menyikapi berbagai program yang tidak sejalan dengan pandangan islam dan tidak ikut menyuarakan, atau mengajak masyarakat untuk ikut dalam berbagai program yang justru makin menjauhkan perempuan dari terpenuhinya hak-hak dasarnya sebagai manusia. Karena sejatinya jawaban dari terpenuhinya dan terjaminnya hak-hak dasar itu dari diterapkannya syariat Islam secara kafah. Wallahu a’lam bi ash showab.