Oleh : Ummu Nadya
Pemerintah saat ini telah ramai membahas kembali wacana RUU pemungutan pajak dalam dunia pendidikan. Pemerintah berencana akan memungut PPN sebesar 7% dari jasa pendidikan, yang konon katanya akan berlaku setelah pandemi berakhir.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini memang tengah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersama Panitia Kerja RUU KUP Komisi XI DPR RI.
RUU ini mengatur soal perluasan basis PPN dengan pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN. Dalam hal ini, pemerintah meyakinkan bahwa rencana perluasan objek kena pajak yang diatur dalam RUU ini– termasuk pajak sembako, jasa pendidikan dan jasa kesehatan– semata didasarkan pada prinsip keadilan. Sehingga dipastikan tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah.
Rakyat menilai bahwa,
penetapan tiga bidang tadi sebagai objek PPN merupakan hal yang tidak layak dilakukan. Bagaimanapun seluruh rakyat–tanpa kecuali– berhak mendapat kemudahan dalam memperoleh kebutuhan dasar semacam sembako, jasa pendidikan, dan kesehatan. Apalagi pemerintah belum maksimal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, bukan karena negara tidak mempunyai modal untuk mensejahterakan rakyatnya tetapi karena sistem kapitalis liberal lah yang membuat hak-hak rakyat tidak terpenuhi. Rakyat hanya di peras dan di jadikan obyek untuk sumber pemasukan keuangan negara atas nama pajak.
Di tinjau dari sumber daya manusia banyak orang Indonesia yang memiliki skill yang di akui oleh negara lain tapi tidak di lirik di negara sendiri.
Di tinjau dari sumber daya alam justru Indonesia memiliki banyak potensi yakni hasil tambang,laut,hutan dan lain-lain.
Namun karena sistem kapitalis liberal lah potensi sumber daya alam tersebut hanya di kuasai oleh segelintir orang pemilik modal dan meraup keuntungan sebesar-besarnya dari hasil sumber daya alam tersebut, yang seharusnya diolah pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka dari itulah saat ini negara kurang maksimal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Menurut laporan BPS, pada Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta orang. Angka itu pun diperoleh dengan menetapkan standar garis kemiskinan sebesar Rp472.525,00/ kapita/bulan.
Seharusnya dalam dunia pendidikan pemerintah berkewajiban meriayah rakyatnya dengan salah satunya memberikan pelayanan gratis dan mengembangkan potensi mereka agar tercipta generasi yang mampu bersaing di dunia global, bukan malah memberatkan rakyatnya dengan pungutan pajak.
Dengan demikian apa yang terjadi saat ini,seharusnya umat islam merenungkan bahwa nyata adanya sistem kapitalis liberal tidak akan membawa kemaslahatan bagi umat manusia, yang ada hanya akan menyebabkan kesengsaraan bagi umat manusia.
Umat harus segera bergerak melakukan perubahan sistem ke arah terwujudnya kepemimpinan Islam. Karena memang hanya kepemimpinan Islam yang bisa diharapkan membawa umat kepada kebahagiaan hakiki yang didambakan.
Sistem kepemimpinan islam tegak atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dan aturan yang di gunakan bersumber dari Al-Quran dan As-sunnah sehingga tidak dapat di intervensi oleh orang-orang serakah demi kepentingan pribadi dan golongan.
Syariat Islam membawa kemaslahatan dan rahmat bagi seluruh alam, syariat islam mengatur berbagai aspek kehidupan baik itu politik,ekonomi,pergaulan,kesehatan,pendidikan dan lain sebagainya. Dengan di terapkan syariat Islam dalam naungan negara Khilafah niscaya keberkahan akan terwujud dan selamat dunia akhirat, tapi jika berpaling dari syariat islam hanya kesengsaraan dan jauh dari keberkahan.
Hal ini mengkonfirmasi apa yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an,
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)
WaAllahu a'lam bisshawab