Penulis
: Venti Budhi Hartanti
Kekayaan pejabat naik drastis saat kemiskinan rakyat makin
menghimpit. Pejabat seperti ini bukan hanya oknum karena fenomena sejenis
terjadi pada banyak orang di berbagai level jabatan. Sungguh ironi dimasa
pandemi saat ini ketika kebanyakkan masyarakat mengalami kesusahan dari segi
ekonomi,rakyat makin sengsara, melarat dan sekarat. Pajak makin menggila dari
berbagai sektor. Kebijakan PPKM yang baru selesai masa rehatnya bukan membuat
rakyat sejahtera tapi menambah rentetan panjang daftar kesengsaraan rakyat. Lebih
mirisnya disaat rakyat melarat dimasa pandemi para penguasa negeri bahkan hampir
semuanya mengekspos memiliki mobil mewah dan rumah mewah beserta vasilitas yang
mereka dapat tanpa rasa malu sedikit pun kepada rakyatnya. Apalagi baru-baru
ini rakyat dihebohkan dengan penuturan salah satu anggota DPR RI sekaligus
seorang artis inisial KD dalam tayangan YouTube
Akbar Faizal. KD mengungkapkan 1 bulan sekali dia menerima gajih pokok
Rp. 16juta, uang tunjangan Rp. 59juta, tidak hanya itu. Ia juga menerima dana
aspirasi 5kali dalam setahun sebesar Rp.450juta dan dana reses diterimanya
8kali dalam setahun sebesar Rp.140juta. (kompas.com. 16/9/21). Tentunya ini
hanya nominal yang diungkapkan KD tentunya masih banyak lagi. Bisa kita
bayangkan pendapatan yang diperoleh oleh para petinggi negeri ini.
Inilah potret pemberlakuan sistem demokrasi yang digadang menjamin
keadilan dan melahirkan aparatur serta pejabat yang mewakili rakyat. Sungguh
ironi antara rakyat dan para penguasa negeri ini. Fenomena yang tidak
mengherankan di sistem demokrasi kapitalistik yang melahirkan lingkaran
oligarki. Negara hanya milik golongan dan perorangan. Padahal, keinginan rakyat
sangat sederhana. Seputar sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan
keamanan. Namun pelayanan yang mereka berikan kepada rakyat tampak setengah
hati. Ini menjadi bukti sistem demokrasi membuka lebar pintu bagi pejabat dan
segelintir elit memperkaya diri. Sedangkan rakyat tertutup akses sekedar
memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi berbicara soal korupsi yang selalu saja
sering kita dengar dan lihat. Mahalnya biaya untuk menjadi wakil rakyat menjadi
tujuan utama untuk mereka mencari untung bisa mengembalikan modal ketika masa
kampanye.
Sangat berbeda sekali dengan
sistem islam ketika diterapkan. Dalam sebuah sejarah islam sebut saja pada masa
Kholifah Umar bin Khaththab ra. Dimasa pada masa itu islam mulai berkembang
pesat. Amirulmukminin berpendapat bahwa harta yang banyak tersebut harus dibagi
kepada kaum muslimin. Memprioritaskan posisi mereka di dalam islam. Beliau lalu
mendirikan baitulmal dan menyusun pembukuan untuk mendata nama-nama orang yang
berhak mendapat bagian tunjangan masing-masing. Dan Umar bin Khaththab juga
selalu menghitung dan mencatat kekayan wali dan amil sebelum atau sesudah
menjadi pejabat. Jika terbukti ada pejabat yang curang ada kelebihan harta yang
dia peroleh yang jumlahnya tidak semestinya maka harta tersebut akan disita dan
dimasukan di baitulmal. Hanya dengan penerapan islam kaffah, pejabat tidak akan
gila harta. Tidak juga memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Wahai para
penguasa,wahai para wakil rakyat ! Harta itu ujian, bukan hal yang patut
dibanggakan atau dipamerkan. Karena kelak semua itu akan dimintai pertanggung
jawaban. Seperti sabda Rasululloh Saw. “Tidak akan bergeser dua telapak kaki
seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban)
tentang umurnya ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia
mengamalkannya, tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya untuk apa digunakan.” (HR. Tirmidzi).