Lumpuhnya perekonomian adalah salah satu dampak yang terjadi akibat pandemi covid-19. Hal ini dirasakan oleh semua masyarakat yang berada pada sektor perdagangan dan jasa. Bagaimana tidak, akibat pandemi yang berkepanjangan membuat masyarakat takut untuk beraktifitas diluar rumah ditambah dengan peraturan yang diberlakukan untuk membatasi aktifitas masyarakat. Membuat para pengusaha di sektor usaha dan jasa banyak kehilangan pelanggan, sampai pada PHK besar-besaran. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para pejabat negeri ini, ketika pendapatan masyarakat menurun drastis di tengah pandemi, pejabat negeri justru sibuk memperkaya diri di tengah malangnya nasib rakyat, sungguh ironis.
KPK mencatat sebanyak 70 persen pejabat meningkat harta kekayaannya selama tahun 2020. Pejabat tersebut dibawah kabinet menteri presiden Joko Widodo, hartanya melonjak antara lain Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai meningkatnya kekayaan pejabat di tengah pandemi, disinyalir adanya kebijakan yang berbalut bisnis. Ubed pun mempertanyakan, apakah kenaikan harta di tengah pandemi ini karena para pejabat berbisnis vaksin, PCR test, tes antigen, alat kesehatan, batu bara dan kelapa sawit, atau kemungkinan pejabat memanfaatkan pengaruh posisinya sebagai pejabat untuk berbisnis. (TEMPO.CO).
Sebagai pelayan publik seharusnya para pejabat berempati dengan kondisi rakyat yang “kelaparan” di tengah pandemi. Bukan malah memeras dengan mengambil keuntungan bisnis melalui kebijakan yang diterapkan. Karena pada hakikatnya mereka adalah pelayan publik yang mengurusi kepentingan rakyat dengan memberikan kemudahan dan meringankan beban rakyat.
Sudah menjadi tradisi di sistem kapitalisme yang cara pandangnya adalah keuntungan, mutlak akan melahirkan orang-orang haus kekuasaan untuk mencari keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang mereka buat sendiri. Tidak peduli, apakah kebijakan yang diterapkan merugikan rakyat atau tidak. Yang terpenting baginya, bagaimana meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Inilah wajah asli Demokrasi Kapitalisme yang diterapkan negeri ini. Melihat fenomena ini, masihkah kemudian berharap pada Demokrasi Kapitalisme yang syarat akan kepentingan segelintir orang?
Sudah seharusnya berkaca pada sejarah bagaimana sistem kepemimpinan Islam dalam institusi Khilafah, yang seluruh aturannya berdasarkan firman Allah SWT. Mampu melahirkan pemimpin yang memimpin berasaskan takwa bukan keuntungan memperkaya diri. Seorang Pemimpin dalam Islam adalah pelindung bagi rakyat yang dipimpinnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya, menjaga nasib agama rakyatnya agar tetap dalam tauhid. Serta memenuhi dan memprioritaskan kebutuhan sandang, pangan, papan rakyatnya terpenuhi. Juga menjaga kebutuhan kolektif mereka seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan. Mereka juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawabannya hingga ke akhirat.
Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya melainkan Allah mengharamkan surga bagi dia.” (HR Bukhari) “
Muslimahnews.id. Sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya diktatorisme, kesewenang-wenangan, ataupun dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Sebab, baik rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.
Wallahu'alam bishowab
Penulis: Tuti Susilawati, S.Pd
Aktifis pendidik

Tags
Opini