Oleh :
Aghnia Yanisari (Aktivis BMIC Kalsel)
Beberapa waktu yang lalu tepatnya 30 Agustus 2021, kerumunan
mahasiswa bersama Fraksi Rakyat Indonesia se-Kalimantan Selatan memadati depan gedung
DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, aksi dihadiri sebanyak kurang lebih 100 peserta.
Mereka mempertanyakan
terkait PPKM dan bantuan sosial (bansos) yang dianggap tak terlihat. Peserta aksi
berharap pemerintah dalam membuat kebijakan harus berdasar kepentingan rakyat
jangan hanya untuk kepentingan satu golongan saja. Mahasiswa bahkan sempat meminta Ketua DPRD
Kalsel, Supian HK untuk mundur saja dari jabatannya jika tak bisa menemui
presiden. (Radar Banjarmasin 04/09/2021).
Tuntutan dari aksi ini
pun disampaikan oleh anggota DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) yang mewakili
Pimpinan Dewan provinsinya ke Presiden Joko Widodo melalui Sekretariat
Kepresidenan di Jakarta, Kamis (2/9). Tuntutan ini berisi 9 poin, yang secara
keseluruhan menuntut pemerintah untuk memberikan fasilitas kesehatan yang
terbaik, mengatasi wabah dengan benar dan menanggung kebutuhan rakyat. (Antara Kalsel
02/09/2021).
Dari aksi ini,
mahasiswa sangat berharap kepada pemerintah agar mampu menangani pandemi dengan
segera tanpa harus menelantarkan rakyat. Namun nampaknya harapan itu tak akan
terwujud, selagi kebijakan merujuk kepada sistem kapitalisme. Semua penangannya
selalu mengutamakan keuntungan materi daripada keselamatan rakyat.
Pemerintah
hanya fokus pada 3T dan 5M serta sibuk gonta-ganti istilah untuk mengganti
opsi lockdown atau karantina wilayah. Pemerintah
tetap ngeyel tak mau karantina atau lockdown meski kasus positif Covid-19 makin
menggila. Sebab, jika opsi lockdown atau
karantina wilayah yang dipilih, negara harus menanggung risiko untuk menghidupi
rakyat selama masa karantina tersebut, sebagaimana amanat dalam UU Karantina
Wilayah. Oleh karenanya, dipilihlah jalan yang dianggap moderat, yaitu PPKM
Darurat. Maka sudah sangat jelas bahwa esensi dari kebijakan ini ialah untuk
kepentingan ekonomi. Padahal jika rakyat banyak yang mati, ekonomi juga tidak
akan berjalan normal.
Bagaimanapun,
langkah strategis menyikapi pandemi adalah lockdown. Ini sudah
jelas sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Apabila kalian mendengar wabah
di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah
sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Muslim). Sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Khalifah Umar
bin Khattab. Ketika mendengar suatu wilayah di dalam khilafah terserang wabah,
beliau dengan tegas menerapkan karantina wilayah. Kemudian kebutuhan rakyat
dipenuhi dengan benar, yang diambil dari kas negara Islam, dengan 3 pos sumber pendapatan
yang pastinya mampu memenuhi kebutuhan rakyat.
Sayangnya, negeri kita masih didominasi
kebijakan sekuler kapitalistik yang masih bertarik ulur antara lockdown atau kepentingan ekonomi. Akibatnya, lockdown pun setengah hati. Belum lagi, hanya
sebagian rakyat yang sadar dan berusaha menaati protokol kesehatan setengah
mati. Bagaimana mungkin pandemi bisa efektif teratasi?
Sebagai
negeri muslim terbesar di dunia, sudah sangat layak bagi Indonesia mengambil solusi syar’i dalam penanganan pandemi. Solusi yang
bersumber dari syariat, pasti memberikan kebaikan bagi masyarakat luas.
Demikianlah semestinya, bahwa penanganan pandemi selayaknya bersumber dari
ideologi Islam. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh maka
negeri ini akan terbebas oleh problematika berkepanjangan. Wallahu alam bi
shawab.[]